Sukses

Telepati, Bentuk Komunikasi di Masa Depan?

Tujuan akhirnya adalah untuk memungkinkan komunikasi langsung otak-ke-otak di antara manusia.

Liputan6.com, Cambridge - Suatu tim penelitian dari lembaga penelitian Starlab di Barcelona, Axilum Robotics dari Prancis, dan Harvard Medical School telah menerbitkan temuan mereka terkait dengan upaya membangun komunikasi antar manusia menggunakan gelombang otak.

Dikutip dari laporan lawas di Smithsonian Magazine pada Selasa (26/4/2016), salah satu penulisnya adalah Alvaro Pascual-Leone, direktur di Berenson-Allen Center for Noninvasive Brain Stimulation, Beth Israel Deaconess Medical Center, sekaligus profesor neurologi di Harvard Medical School.

Ia berharap penelitian ini dan yang selanjutnya dapat membuka jalur komunikasi dengan pasien-pasien yang tidak mampu berbicara. “Kami ingin memperbaiki cara orang berkomunikasi ketika ada keterbatasan, misalnya pada mereka yang tidak bisa bicara atau memiliki kekurangan sensori.”

Eksperimen oleh Pascual-Leone berhasil. Peserta penelitian tidak berbicara, mengetik, atau bahkan tidak melihat satu sama lain. Namun demikian, sang peneliti mengingatkan bahwa temuan ini masih dipandang sebagai bukti konsep dan teknik ini masih harus dikembangkan lagi.

“Masih jauh, tapi kita bisa membuktikan hal ini bisa dilakukan dengan teknologi yang sudah ada. Bisa dimisalkan dengan perbedaan orang yang bicara melalui telepon dan orang yang masih harus berkirim kode Morse. Arahnya ke sana, tapi masih ada sejumlah langkah yang harus dilalui,” tulisnya. 

Suatu penelitian lawas memungkinkan pengiriman pesan otak-ke-otak dari satu manusia ke manusia lain. (Sumber Grau, C., et al. PLOS ONE 2014))

Prosesnya memang tidak mudah. Pertama, tim itu harus menetapkan kesetaraan kode biner untuk huruf-huruf, misalnya huruf “h” dilambangkan dengan kode biner “0-0-1-1-1”.

Kemudian, sensor EEG ditempelkan ke kulit kepala, lalu pengirim pesan menggerakkan tangan atau kaki untuk menandakan angka “1” atau “0”. Kode itu kemudian dikirimkan kepada penerima melalui surel.

Di sisi lain, penerimanya dibuat “buta” menggunakan rangsangan magnetik pada batok kepala (transcranial magnetic stimulation, TMS). TMS adalah cara non-invasif untuk merangsang neuron-neuron di otak dan kerap dipakai untuk terapi mengatasi depresi.

Perangkat TMS merangsang otak sang penerima pesan sehingga ia melihat kedipan-kedipan singkat. Satu kedipan berarti angka “1” dan keadaan tanpa kedip berarti angka “0”. Dari situ, kode tersebut diterjemahkan kembali menjadi kalimat. Dalam percobaan, diperlukan sekitar 70 menit untuk menyampaikan pesan tadi.

Ada pertanyaan apakah pendekatan ini masih baru. Terbitan IEEE Spectrum menyebutkan penelitian sebelumya oleh Unversity of Washington dengan cara yang cukup mirip.

Para peneliti sebelumnya juga menggunakan penataan EEG-ke-TMS tapi kemudian merangsang cortex motor pada otak untuk penerimanya secara tidak sadar menekan suatu huruf pada papan kunci (keyboard). Bedanya, Pascual-Leone mengatakan peserta percobaannya tetap sadar.

Dua penelitian itu merupakan langkah kecil menuju rekayasa telepati yang memerlukan beberapa dekade supaya sempurna. Tujuan akhirnya adalah untuk memungkinkan komunikasi langsung otak-ke-otak di antara manusia. “Kita masih jauh ke sana. Tapi, pada akhirnya, saya berpendapat bahwa hal ini sepadan dengan upayanya.”

Di luar dunia kedokteran, komunikasi otak-ke-otak dapat diterapkan di berbagai disiplin. Sebagai contoh, prajurit dapat menggunakan teknologi ini di medan tempur untuk mengirimkan perintah dan peringatan satu sama lain.

Warga sipil juga mendapatkan manfaatnya, misalnya ketika pelaku bisnis dapat mengirimkan tanda-tanda kepada rekan-rekannya ketika sedang melakukan negosiasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini