Sukses

China Catat 2023 Sebagai Tahun Terpanas

Pada tahun 2023, Beijing memecahkan rekor suhu tertinggi selama 23 tahun pada bulan Juli, dengan suhu di atas 35 derajat Celcius selama 27 hari berturut-turut.

Liputan6.com, Beijing - China mencatat bahwa tahun 2023 adalah tahun terpanas sejak pencatatan dimulai, ungkap media pemerintah yang mengutip pihak berwenang pada Selasa 2 Januari 2024.

Dilansir CNA, Rabu (3/1/2024), suhu yang memecahkan rekor ini merupakan bagian dari serangkaian peristiwa ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia pada tahun lalu – termasuk gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan yang menurut para ilmuwan diperburuk oleh perubahan iklim.

Suhu rata-rata nasional China tahun lalu adalah 10,7 derajat Celcius, melebihi rekor 10,5 derajat Celcius yang tercatat pada tahun 2021, kata lembaga penyiaran negara CCTV, mengutip Pusat Iklim Nasional Beijing.

"Suhu di sebagian besar negara ini lebih tinggi sebesar 0,5 derajat Celcius hingga 1 derajat Celcius," tulis artikel tersebut.

Di seluruh wilayah China, 127 stasiun cuaca nasional memecahkan rekor suhu tertinggi harian sepanjang tahun, tambahnya.

Lebih jauh, Beijing memecahkan rekor suhu tertinggi selama 23 tahun pada bulan Juli, dengan suhu di atas 35 derajat Celcius selama 27 hari berturut-turut.

Rekor pun terus berlanjut seiring berjalannya tahun, dengan ibu kota Beijing mencatat suhu terpanas di akhir bulan Oktober.

Sejak Maret (musim semi) 2023, China juga sudah merasakan suhu panas.

Pakar di China menyebut kondisi cuaca yang terjadi sudah termasuk ekstrim. Persediaan listrik di China pun ikut terganggu akibat pemakaian listrik ikut meningkat untuk melawan suhut panas.

Ketika itu, Provinsi Hebei menjadi yang pertama yang mencatat suhu yang mencapai 40 derajat celcius di ibu kota Shijiazhuang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Efek Pemanasan Global

Para ahli memperingatkan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca membuat cuaca ekstrem lebih mungkin terjadi.

Perlu diketahui, China adalah penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia yang mendorong perubahan iklim, seperti karbon dioksida.

Sementara sebuah studi yang dirilis bulan lalu menemukan bahwa polusi udara di negara tersebut memburuk pada tahun 2023, yang merupakan pertama kalinya terjadi dalam satu dekade.

3 dari 4 halaman

Australia Juga Alami Gelombang Panas

Selain China, sebelum Tahun Baru 2024 Australia juga diprediksi menghadapi gelombang panas dahsyat di wilayah utara dan baratnya selama akhir pekan menjelang Tahun Baru, dengan suhu diperkirakan mencapai lebih dari 45 derajat Celsius. Sementara itu, badai petir hebat juga diperkirakan akan melanda wilayah timur negara tersebut.

Gelombang panas ini terjadi setelah sistem cuaca buruk yang melanda bagian timur negara itu selama liburan Natal hingga menewaskan 10 orang dan memutus aliran listrik bagi puluhan ribu orang.

Musim panas di Australia pada bulan Desember-Februari dipengaruhi oleh fenomena El Nino, yang biasanya membawa suhu di atas rata-rata pada siang hari, dan dapat menyebabkan cuaca ekstrem mulai dari kebakaran hutan hingga siklon tropis dan kekeringan berkepanjangan.

Selengkapnya di sini...

4 dari 4 halaman

Desember 2023 Musim Hujan Tapi Panas, Ini Alasannya

Sebelumnya pada Desember 2023, yang seharusnya didominasi oleh hujan, menyajikan pemandangan yang tak lazim.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto, memberikan gambaran bahwa cuaca panas ini dipicu oleh dominasi cuaca cerah pada siang hari, terutama di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara. 

"Berdasarkan citra satelit cuaca BMKG, dalam beberapa hari terakhir wilayah Jawa atau Indonesia bagian selatan tidak terdapat tutupan awan, sehingga sinar matahari intens/optimum langsung ke permukaan Bumi," ungkap Guswanto, Deputi Bidang Meteorolgi BMKG.

Dikutip kanal Hot Liputan6.com, fenomena ini disertai dengan minimnya tutupan awan di sekitar selatan ekuator, yang menyebabkan sinar matahari secara intensif menembus atmosfer dan mencapai permukaan bumi.

Keadaan ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah anomali cuaca ini merupakan akibat dari perubahan iklim ataukah hanya gejala alam yang sesaat?

Guswanto menambahkan bahwa kurangnya pertumbuhan awan hujan di wilayah Jawa-Nusa Tenggara disebabkan oleh aktivitas pola tekanan rendah di sekitar Laut Cina Selatan. Pola tekanan rendah ini menghambat aliran massa udara basah ke arah selatan ekuator, meningkatkan kandungan uap air yang sangat sedikit di wilayah tersebut. 

Sehingga, terjadilah suhu panas yang cukup terik di sebagian besar wilayah Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. Meskipun begitu, potensi hujan masih tetap ada, dan masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap perubahan cuaca yang mungkin terjadi dari hari ke hari.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini