Sukses

PBB: Junta Militer Myanmar Tangguhkan Akses Bantuan Kemanusiaan ke Korban Topan Mocha

Topan Mocha menghantam Myanmar barat pada 14 Mei sebagai salah satu badai terkuat yang pernah melanda negara itu.

Liputan6.com, Naypyidaw - Kantor kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan, junta militer Myanmar menangguhkan akses kemanusiaan ke Negara Bagian Rakhine, di mana lebih dari satu juta orang yang rentan sangat membutuhkan bantuan sebulan setelah Topan Mocha menghancurkan kawasan itu.

"Empat pekan setelah tanggap bencana... secara tidak terduga akses kemanusiaan untuk mendukung orang-orang yang membutuhkan ditolak," ungkap Koordinator PBB untuk Residen dan Kemanusiaan Ramanathan Balakrishnan, seperti dikutip dari CNN, Selasa (13/6/2023).

Balakrishnan menegaskan bahwa itu adalah satu kemunduran yang menghancurkan bagi lebih dari satu juta orang yang membutuhkan bantuan.

"Tepat ketika komunitas yang rentan sangat membutuhkan bantuan kami, kami terpaksa menghentikan distribusi makanan, air minum, dan persediaan tempat tinggal," ungkap Balakrishnan.

Topan Mocha menghantam Myanmar barat pada 14 Mei sebagai salah satu badai terkuat yang pernah melanda negara itu, menghancurkan infrastruktur, memutus jalur komunikasi, hingga membanjiri lahan pertanian.

Sekitar 1,6 juta orang disebut terdampak parah Topan Mocha, termasuk ribuan orang yang sudah mengungsi dan bergantung pada bantuan kemanusiaan sebelum badai melanda.

Pekan lalu, OCHA mengatakan bahwa lebih dari 110.000 orang terdampak telah menerima tempat berlindung dan pasokan lainnya, sementara bantuan makanan telah menjangkau hampir 300.000 orang di Rakhine. Namun, sebulan setelah topan melanda, banyak keluarga masih tinggal di tempat terbuka dan membutuhkan makanan serta perbekalan lainnya.

Perjalanan di Rakhine telah lama sangat dibatasi dan kelompok bantuan diharuskan mengajukan izin perjalanan sebulan sebelumnya. Dan junta militer Myanmar tidak mencabut pembatasan tersebut setelah Badai Mocha, meski bantuan internasional sangat dibutuhkan.

PBB mengatakan, rencana distribusi bantuan di Negara Bagian Chin juga masih tertunda.

"Penolakan akses ini secara tidak perlu memperpanjang penderitaan mereka yang tidak memiliki makanan untuk dimakan atau tempat berlindung. Ini meningkatkan risiko kerawanan pangan dan penyakit," kata Balakrishnan, yang mendesak junta militer untuk mempertimbangkan kembali keputusannya dan mengembalikan persetujuan awal.

Pada 8 Juni, organisasi kemanusiaan medis internasional Medecins Sans Frontieres mengungkapkan bahwa izin perjalanannya ke Rakhine juga ditangguhkan.

"Ini akan sangat merugikan masyarakat karena kami tidak akan dapat membuka klinik kesehatan primer, memfasilitasi rujukan darurat atau menyediakan barang-barang bantuan darurat yang sangat dibutuhkan," twit Medecins Sans Frontieres.

Situasi bagi mereka yang rumahnya rusak atau hancur di Rakhine semakin parah dengan datangnya musim hujan.

Rakhine adalah negara bagian yang sebagian besar miskin dan terisolasi, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi tempat kekerasan politik yang meluas. Ratusan ribu orang telah mengungsi akibat konflik yang berkepanjangan, banyak dari mereka adalah anggota kelompok minoritas Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, yang telah lama dianiaya di Myanmar.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Junta Militer Myanmar

Pihak berwenang Myanmar memiliki sejarah panjang dalam menghambat akses bantuan bagi masyarakat yang rentan.

Sebagai buntut dari Topan Nargis pada tahun 2008, junta militer mencegah tim bantuan bencana internasional dan perbekalan menjangkau mereka yang membutuhkan. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat bencana itu.

Penangguhan bantuan internasional junta militer turut memengaruhi organisasi lokal, dengan beberapa mengatakan mereka khawatir akses mereka akan dibatasi dan pasokan mereka disita.

"Kami telah membeli terpal, obat-obatan, dan beras di (ibu kota negara bagian) Sittwe, tetapi kami tidak yakin apakah kami dapat melakukan perjalanan ke kota atau desa lain karena kami harus melewati pos pemeriksaan. Kami tidak bisa kehilangan bantuan darurat, tetapi kami juga mengkhawatirkan keselamatan kami," kata Khine Thurein dari Jaringan Masyarakat Sipil Arakan.

"Bahkan sebelum keputusan terbaru ini ada pembatasan perjalanan. Jika kami memilih jalan dan kami harus melewati pos pemeriksaan, kami akan ditahan setidaknya selama 4-5 jam."

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini