Sukses

24 Mei 2014: Penembakan Brutal Selama 82 Detik di Museum Yahudi Belgia Tewaskan 4 Orang

Aksi penembakan secara brutal terjadi pada 24 Mei 2014 di pusat Kota Brussels. Kejadian itu menewaskan 4 orang.

Liputan6.com, Brussel - Sebuah bayangan merayap di belakang dua pengunjung tepat di dalam Museum Yahudi di Brussel, Belgia. Seorang pria tiba-tiba muncul, lengan terulur saat ia menembakkan pistol ke leher dua pengunjung tersebut.

Peluru pertama membunuh Emanuel Riva, yang kedua membunuh istrinya, Miriam. Pasangan itu jatuh ke lantai dalam adegan mengerikan yang ditangkap oleh kamera keamanan museum.

Tidak ada turis Israel yang melihat penembak datang karena mereka asyik dengan prospektus museum.

Emanuel dan Miriam adalah orang pertama dari empat orang yang tewas dalam serangan museum pada Sabtu, 24 Mei 2014.

Pria bersenjata itu adalah orang Prancis bernama Mehdi Nemmouche, dilansir dari France 24, Senin (22/5/2023).

Mengenakan jaket biru dengan topi di kepalanya, Mehdi kemudian berjalan ke meja resepsionis dan menyapa seorang karyawan muda, menembakkan peluru ke dahinya.

Alexandre Strens (26) pun meninggal karena lukanya yang parah dua minggu kemudian.

Di sebuah ruangan kecil di dekatnya, seorang wanita meringkuk panik di belakang mejanya. Mehdi menembaknya, tetapi meleset. Ia kemudian mengambil senapan serbu dari salah satu dari dua tas yang ia bawa.

Pintu terkunci secara otomatis sebelum ia melepaskan tembakan dan menendangnya hingga terbuka. Ia berjalan ke arah wanita tadi, kali ini tanpa meleset menembakkan tiga tembakan, dua di antaranya ke kepalanya.

Pingsan di bawah mejanya, Dominique Sabrier, seorang sukarelawan Prancis berusia 60-an, menjadi korban keempatnya.

Mehdi menyimpan senjatanya dan meninggalkan museum tanpa sepatah kata pun. Saksi mata mengatakan ia meninggalkan tempat kejadian dengan tenang sebelum melebur ke kerumunan pada Sabtu sore musim semi itu.

Penyelidik mengatakan keempat pembunuhan itu hanya membutuhkan waktu 82 detik. Penembak melepaskan total 13 tembakan, lima dari pistolnya dan delapan dari senapan Kalashnikov.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mehdi Ditangkap di Bus dengan Barang Bukti Senjatanya

Enam hari kemudian, pada 30 Mei 2014, sebuah bus Eurolines dengan rute Amsterdam-Brussels-Marseille tiba sekitar tengah hari di kota pelabuhan Prancis selatan.

Tiga petugas pengawas perbatasan memutuskan untuk melakukan pemeriksaan mendadak.

Di dalamnya terdapat 15 penumpang, termasuk seorang Prancis bercukur bersih dengan jas dan dasi. Pria itu ternyata Mehdi Nemmouche, yang memberi tahu pihak berwenang bahwa ia telah melakukan perjalanan dari ibu kota Belgia.

Di kursi kosong tidak jauh dari Mehdi yang saat itu berusia 29 tahun, seorang petugas melihat kantong plastik dan tas hitam yang tidak diklaim penumpang.

Membuka tas yang berat itu, petugas menemukan senapan serbu.

Ketiga petugas itu kemudian menggeledah para penumpang. Mehdi menjadi orang ketiga yang digeledah. Ia mengangkat tangannya dengan tenang. Petugas pun menemukan pistol berisi pistol di saku jaketnya.

Segera diborgol tanpa perlawanan, Mehdi diduga mengaku memiliki dua tas serta pistol dan senapan serbu.

Penyelidik mengatakan kedua senjata itu digunakan dalam penembakan di museum.

Petugas juga menyita tasnya yang berisikan 51 peluru untuk pistol, 261 peluru untuk AK-47, serta surat kabar berbahasa Prancis dengan laporan penyerangan tersebut.

Mereka juga menemukan laptop yang berisi rekaman suara, yang diyakini sebagai miliknya, mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

"Jaket saya memang membawa kamera. Tapi sayangnya, saya sangat menyesal, kamera tidak berfungsi hari itu," kata Medi sebelum menambahkan, "Ini hanyalah awal dari serangkaian serangan di kota Brussel."

"Kami dengan tegas bertekad untuk menempatkan kota ini di bawah api dan darah."

3 dari 4 halaman

2 Mei 2004: Pembantaian Muslim di Nigeria, 600 Orang Lebih Tewas

Pembunuhan sadis juga terjadi ketika kelompok etnis yang menyerang sebuah kota kecil di Nigeria.

Melansir dari The New Humanitarian, lebih dari 600 orang tewas dalam penyerangan yang terjadi pada 2 Mei 2004.

Saat itu sekelompok milisi bersenjata berat dari kelompok etnis Tarok yang sebagian besar beragama Kristen dilaporkan menyerbu kota kecil Yelwa di negara bagian Plateau.

Kedatangan mereka disebut merupakan bentuk pembalasan atas serangan Muslim sebelumnya terhadap komunitas itu.

Korban pembantaian tersebut sebagian besar adalah anggota suku Hausa dan Fulani. 

Umar Mairiga, salah satu anggota tim Palang Merah yang datang ke Yelwa mengatakan kepada wartawan bahwa ia diperlihatkan 250 lebih kuburan massal.

Mairiga mengatakan, laporan mengatakan bahwa beberapa ratus orang telah terbunuh. "Dari apa yang kami lihat dan dengar, kami pikir benar bahwa lebih dari 600 orang tewas," katanya.

Menurut Mairiga, sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, diculik dalam penyerangan oleh pemuda Tarok bersenjatakan senapan dan parang. 

Baca selebihnya di sini...

4 dari 4 halaman

30 Maret 1975: 11 Anggota Keluarga Jadi Korban Pembantaian di Minggu Paskah

Pembantaian mengerikan juga terjadi pada 30 Maret 1975.

Peristiwa itu dijuluki sebagai Eastern Sunday Massacre atau Pembantaian Minggu Paskah.

Kala itu, seorang pria menembak mati 11 anggota keluarganya di rumah, termasuk ibu, saudara laki-laki, ipar perempuan, dan delapan anak mereka pada hari Minggu Paskah.

Hingga saat ini, kasus pembunuhan tersebut dianggap sebagai salah satu penembakan paling mematikan dan paling mengerikan dalam sejarah Amerika Serikat (AS).

Dikutip dari The LineUp, Selasa (28/3/2023), di momen Minggu pagi yang dingin itu, Leonard Ruppert (42) berkendara bersama keluarganya menuju rumah ibunya untuk merayakan paskah.

Ibunya Leonard yang sudah menjadi janda saat itu, tinggal bersama saudara lakinya yang lebih muda bernama James.

Para tetangga sempat melihat mobil Leonard di halamannya, yang kemudian bersama-sama mencari telur paskah bersama istri dan delapan anaknya.

Tak disangka bahwa malam itu akan menjadi malam pembantaian bagi keluarganya.

James Ruppert, saudara laki-lakinya sendiri, menjadi pelaku dari pembantaian tersebut.

Baca selebihnya di sini...

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini