Sukses

Dokter Inggris Ungkap Ancaman Wabah Penyakit Usai Konflik Sudan

Eiman ab Garga, seorang dokter dan ahli ginekolog keturunan Inggris-Sudan sedang mengunjungi Khartoum bersama anak-anaknya ketika konflik Sudan dimulai.

Liputan6.com, Khartoum - Eiman ab Garga, seorang dokter dan ahli ginekolog keturunan Inggris-Sudan sedang mengunjungi Khartoum bersama anak-anaknya ketika konflik Sudan dimulai.

Dia dievakuasi ke Djibouti dengan pesawat yang telah disiapkan oleh pemerintah Prancis, dikutip dari laman BBC, Rabu (26/4/2023).

Mereka mempercepat keberangkatannya, karena masalah keamanan, dan dia tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepada ayah, ibu atau saudara perempuannya.

"Negara ini kotor, ada sampah di mana-mana," katanya kepada Radio 4.

"Ada limbah yang meluap dan bau tercium sangat menyengat. Jadi sekarang di Sudan akan mengalami wabah penyakit dan penyakit. Masalahnya lagi tidak akan ada rumah sakit untuk membawa penduduk," kata ab Garga.

"Nanti kita hanya bisa melihat kematian, kehancuran dan kemelaratan."

Penyebab konflik Sudan bermula ketika negara tersebut dilanda kudeta tahun 2021. Sejak itu, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua orang petinggi militer, yang kemudian menjadi cikal bakal perselisihan ini.

Mereka adalah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala angkatan bersenjata dan presiden negara itu dan wakilnya serta pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal dengan nama Hemedti.

Masalah utama adalah rencana untuk memasukkan sekitar 100.000 Rapid Support Forces (RSF) ke dalam tubuh tentara, dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru tersebut.

Mengapa dan Kapan Perang di Sudan Pecah?

Aksi penembakan menjadi pemicu konflik Sudan, tepatnya pada tanggal 15 April setelah ketegangan berhari-hari terjadi.

Kala itu, anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam suatu tindakan yang dianggap oleh tentara negara sebagai bentuk ancaman.

Ada harapan bahwa pembicaraan dapat menyelesaikan situasi tetapi ini tidak pernah terjadi.

Masih diperdebatkan siapa yang melepaskan tembakan pertama tetapi pertempuran dengan cepat meningkat di berbagai bagian negara. Akibatnya, lebih dari 400 warga sipil tewas, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mengapa Warga Sipil Terjebak?

Meskipun konflik tampaknya berada di bawah kendali instalasi, namun hal ini banyak menimbulkan efek besar, terutama di daerah perkotaan. Bahkan, warga sipil menjadi korban.

Tidak jelas di mana pangkalan RSF berada, tetapi anggota mereka kerap pindah ke daerah padat penduduk.

Angkatan udara Sudan telah melakukan serangan udara di ibu kota, sebuah kota berpenduduk lebih dari enam juta orang, yang kemungkinan besar telah menyebabkan korban sipil.

Beberapa gencatan senjata telah diumumkan untuk memungkinkan orang-orang melarikan diri dari pertempuran tetapi hal ini belum dipatuhi.

3 dari 4 halaman

Pertempuran Sudan Capai Gencatan Senjata Ketiga Selama 72 Jam

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan, pihak yang bertikai di Sudan telah menyetujui gencatan senjata 72 jam. Terhitung mulai tengah malam pada Senin (24/4/2023) waktu setempat.

Setidaknya ini adalah gencatan senjata ketiga yang diumumkan sejak kekerasan meletus bulan ini. Namun, tidak ada satupun yang dijalankan penuh.

Menurut Menlu Blinken, kesepakatan terbaru dicapai antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah negosiasi selama 48 jam. Demikian seperti dilansir BBC, Selasa (25/4/2023).

RSF mendukung pengumuman Blinken dan menggarisbawahi komitmen mereka untuk gencatan senjata penuh. Namun, pihak SAF belum memberi komentar.

Sedikitnya 400 orang tewas sejak perang saudara Sudan meletus pada 15 April 2023.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa kekerasan di Sudan berisiko menyebabkan "kebakaran dahsyat" yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya.

4 dari 4 halaman

Warga Diminta Tetap Berada di Rumah

Sejak kekerasan dimulai, penduduk di ibu kota Khartoum telah diminta untuk tetap tinggal di rumah. Namun, persediaan makanan dan minuman dilaporkan semakin menipis.

Pengeboman telah menghantam sejumlah infrastruktur utama seperti pipa air. Dan hal itu disebut membuat orang-orang terpaksa mengonsumi air dari Sungai Nil.

Ada harapan bahwa gencatan senjata memungkinkan warga sipil meninggalkan arena konflik dan memungkinkan pemerintah asing melakukan evakuasi lanjutan.

Sebelumnya pada Senin, Menlu Blinken mengungkapkan bahwa sejumlah konvoi yang terlibat dalam proses evakuasi telah mengalami perampokan dan penjarahan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.