Sukses

Kasus Harian COVID-19 di Korea Selatan Tembus 60 Ribu

Kasus COVID-19 di Korea Selatan sedang naik lagi di musim dingin.

Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan sedang mencatat kenaikan kasus COVID-19 di negaranya. Selama empat hari berturut-turut, kasus COVID-19 tembus 60 ribu. 

Dilaporkan Yonhap, Jumat (16/12/2022), tingginya kasus harian ini memicu kekhawatiran karena pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mencabut kebijakan masker dalam ruangan.

Berdasarkan data terkini, ada 66.953 kasus COVID-19 baru di Korea Selatan, termasuk 82 kasus dari luar negeri. Pada Selasa (13/12), kasus harian melonjak hingga 86.852 kasus. Jumlah itu meningkat tajam dari kasus hari Senin sejumlah 25.667 kasus.

Lonjakan yang terjadi adalah yang tertinggi sejak 14 September 2022 ketika kasus harian mencapai 93 ribu. Kasus mulai melandai sejak Rabu kemarin.

Otoritas kesehatan Korea Selatan masih waspada karena angka kasus harian dapat terjadi akibat penyesuaian aturan masker.

Rencananya, pemerintah Korea Selatan akan memutuskan aturan wajib masker dalam ruangan pada akhir Desember 2022. Aturan wajib tersebut adalah pembatasan COVID-19 terakhir di Korea Selatan.

Pemerintah akan mempertimbangkan berdasarkan faktor-faktor kasus, kematian, dan hospitalisasi.

Korea Disease Control and Prevention Agency (KDCA) berencana melakukan briefing soal aturan masker dalam ruangan ini pada 23 Desember 2022, dua hari sebelum Hari Natal.

Mayoritas orang yang meninggal karena kasus COVID-19 di Korea Selatan berusia 60 tahun ke atas (lebih dari 80 persen). Yang tercatat paling sedikit adalah remaja 10-19 tahun (0,06 persen).

Untuk persentase kasus positif, kelompok usia dengan angka infeksi virus corona tertinggi adalah usia 40-49 tahun (15,23 persen), 20-29 tahun (14,62 persen), dan 30-39 tahun (14,57 persen).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

WHO Berharap Akhiri Darurat COVID-19 Tahun 2023

Harapan akan berakhirnya pandemi Virus Corona COVID-19 terus digemakan.

Menjelang tiga tahun pandemi COVID-19, mengutip DW Indonesia, Jumat (16/12), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan virus itu akan tetap ada, tetapi perlu ditangani bersama dengan penyakit pernapasan lainnya. 

Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan jumlah kematian COVID-19 mingguan sekarang sekitar seperlima dari tahun lalu, meski angka itu masih terlalu tinggi.

"Minggu lalu, kurang dari 10.000 orang kehilangan nyawa. Tetap 10.000 terlalu banyak dan masih banyak yang bisa dilakukan semua negara untuk menyelamatkan nyawa," katanya dalam konferensi pers.

"Kita telah menempuh perjalanan panjang. Kami berharap pada suatu saat tahun depan, kami dapat mengatakan bahwa COVID-19 tidak lagi menjadi darurat kesehatan global."

Komite darurat WHO untuk COVID-19 akan membahas kriteria untuk menyatakan berakhirnya fase darurat ketika mereka bertemu lagi di bulan Januari 2023. Komite darurat ini yang memberi nasihat kepada Tedros tentang apakah virus tersebut merupakan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC).

Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 WHO, mengatakan komite akan melihat epidemiologi, varian seperti Omicron, dan dampak virus.

Sementara gelombang infeksi masih diperkirakan terjadi, pandemi disebut "tidak seperti pada awalnya". Kasus pun akan mengakibatkan lebih sedikit rawat inap dan kematian.

"Kematian ini sebagian besar terjadi di antara orang-orang yang tidak divaksinasi," atau belum menerima suntikan penuh, ujar Van Kerkhove.

WHO mengatakan lebih dari 13 miliar dosis vaksin telah diberikan. Dia menambahkan sekitar 30 persen dunia belum menerima satu dosis pun. 

3 dari 4 halaman

Memahami Awal Pandemi COVID-19 untuk Mengakhirinya

Tedros mengatakan bahwa saat dunia ingin mengakhiri keadaan darurat COVID-19, yang telah menjungkirbalikkan ekonomi dan membuat jutaan orang menderita gejala yang berkelanjutan, dunia perlu memahami bagaimana pandemi dimulai.

Kasus pertama COVID-19 tercatat di kota Wuhan di China pada Desember 2019.

"Kami terus mengimbau China untuk membagikan data dan melakukan studi yang kami minta, untuk lebih memahami asal-usul virus ini," kata Tedros.

"Semua hipotesis tetap ada," tambahnya, seraya menambahkan bahwa ini termasuk teori bahwa virus tersebut lolos dari laboratorium virologi Wuhan, China.

Kepala Kedaruratan WHO Michael Ryan mengatakan organisasi itu tidak bisa begitu saja berhenti terlibat dengan Beijing hanya "karena China tidak bekerja sama dengan kami mengenai asal-usul" karena sebagian besar populasi dunia tinggal di China.

4 dari 4 halaman

Negara Anggota Uni Eropa Cabut Semua Pembatasan Perjalanan Terkait COVID-19

Dewan Uni Eropa resmi memperbarui rekomendasi perjalanan dengan seruan mencabut semua pembatasan terkait COVID-19 di wilayah UE. Pihaknya juga memastikan tidak ada batasan baru yang akan diberlakukan jika situasi penyebaran virus tetap tidak berubah.

Melansir Euro News, Kamis (15/12), pada Oktober lalu, Spanyol jadi negara UE terakhir yang mencabut persyaratan masuk terkait COVID-10. Hingga saat itu, pelancong non-UE diharuskan menunjukkan bukti vaksinasi, sembuh dari COVID-19, atau tes COVID-19 negatif. 

Namun, rekomendasi tersebut menyimpan sejumlah perlindungan, berjaga-jaga situasi memburuk. Jika pandemi memburuk atau ketegangan baru muncul di negara-negara di luar UE, dewan UE mencatat bahwa persyaratan sebelum keberangkatan dan pembatasan sementara mungkin diperlukan.

Bila situasi memburuk di negara-negara UE, persyaratan menunjukkan sertifikat COVID1-9 digital atau menjalani tes dapat diberlakukan kembali. Sejak Spanyol mencabut pembatasan terakhirnya pada Oktober 2022, wisatawan dari semua negara tidak perlu lagi menunjukkan dokumen COVID-19 untuk memasuki negara UE mana pun.

Sebelumnya, banyak negara mewajibkan penyertaan bukti vaksinasi, sertifikat pemulihan, atau tes negatif melalui Sertifikat COVID Digital UE (EUDCC) ketika pelancong hendak memasuki wilayah mereka. Namun, negara-negara UE sekarang menyambut semua wisatawan terlepas dari status vaksinasi COVID-19, pemulihan, atau pengujian.

Di bawah rekomendasi baru, kemungkinan besar UE akan tetap bebas pembatasan, kecuali jika kasus meningkat di negara atau wilayah tertentu maupun muncul kekhawatiran baru. Pemakaian masker masih diwajibkan beberapa negara dalam situasi tertentu, tapi penumpang yang terbang di UE tidak perlu lagi memakai masker di bandara atau di dalam pesawat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.