Sukses

Kondisi Inggris Kacau Usai Ditinggal Ratu Elizabeth II, Apa Kaitannya?

Kondisi Inggris saat ini tidak stabil terutama dalam sektor ekonomi, terlebih setelah PM Liz Truss mundur.

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Liz Truss akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri usai gejolak ekonomi terjadi di masa pemerintahannya, ketika ia baru menjabat 45 hari. 

Hal ini pun mengingatkan Inggris akan mendiang Ratu Elizabeth II yang belum lama meninggal. 

Apakah ada kaitannya antara kekacauan yang terjadi di Inggris dengan kepergian Ratu Elizabeth II?

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah pun mengiyakan hal tersebut. 

"Memang wafatnya Ratu Elizabeth II menimbulkan masalah baru. Seperti hilangnya simbol pemersatu bangsa saat krisis ekonomi, dan sumber inspirasi dan keteladanan, saat bangsa Inggris berjuang mengupayakan inovasi dan kreatifitas," ujarnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (21/10/2022). 

Rezasyah mengatakan bahwa untuk jangka pendek, Inggris memang sedang menghadapi kemunduran.

"Namun berbekal pengalaman mengelola dunia, serta keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Inggris akan cepat bangkit," katanya kemudian. 

Liz Truss sendiri telah bertemu Ratu Elizabeth II hanya dua hari sebelum Sang Ratu mangkat. Ratu berusia 96 tahun itu bertemu Liz Truss membahas pemerintahan baru setelah pengunduran diri Boris Johnson.

Ia pun menyampaikan bahwa kala itu Inggris berduka atas kematiannya. 

Pernyataan sikap ini disampaikan Liz Truss sembari mengunggah fotonya tengah menulis pesan di sebuah buku beralaskan meja dengan taplak putih tanpa motif.

Di sudut meja, ada foto Ratu Elizabeth II mengenakan baju dan rok biru muda dengan kalung mutiara plus topi bundar. Liz Truss sendiri memakai baju hitam pertanda duka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mundurnya Liz Truss Dianggap Penghinaan

Menurut Peter Westmacott, Mantan Pejabat di Europe Center dan Mantan Dubes Inggris untuk Amerika Serikat menyebut bahwa situasi ini adalah bentuk penghinaan untuk Inggris dan demokrasi.

"Liz Truss berharap dapat bertahan sampai Menteri Keuangan Jeremy Hunt mengeluarkan rencana fiskal jangka menengahnya pada 31 Oktober. Kekacauan politik Rabu kemarin membuat hal itu mustahil. Liz Truss dengan demikian menjadi perdana menteri Inggris dengan masa jabatan terpendek yang pernah ada," kata Peter Westmacott.

"Partai Buruh sekaligus oposisi menyerukan pemilihan umum dini, dengan alasan siapa pun yang memerintah Inggris membutuhkan mandat demokrasi. Partai Konservatif, yang masih memiliki mayoritas 71 kursi di House of Commons, tidak mungkin setuju karena jajak pendapat sangat mendukung Partai Buruh," tambahnya.

3 dari 4 halaman

Posisi Inggris Kemudian

Sementara itu, Frances Burwell yang merupakan Direktur Senior di McLarty Associates menyebut pengunduran diri Liz Truss dan dimulainya kontes kepemimpinan baru membuat Inggris seakan-akan melanjutkan devolusinya untuk menjadi mitra yang kurang relevan bagi Amerika Serikat dan sekutu Eropanya.

"Sejak referendum Brexit tahun 2016 -- bahkan sejak pengumuman Perdana Menteri David Cameron tentang referendum tersebut pada tahun 2013 -- politik Inggris didorong oleh perang saudara di dalam Partai Konservatif. Mereka yang berargumen akan 'mengambil kembali' Inggris dari Eropa tidak pernah menyusun strategi sukses sebagai pemain ekonomi global, tetapi sebaliknya malah membangun hambatan dengan mitra ekonomi terbesar Inggris," kata Burwell.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menyatakan terima kasihnya kepada Truss atas kemitraannya dan telah menegaskan kembali keyakinannya pada kelanjutan hubungan AS-Inggris.

Namun Frances Burwell menilai, di koridor Gedung Putih, para pejabat pasti bertanya-tanya berapa lama lagi drama Inggris ini akan berlanjut dan apa kontribusi Inggris untuk memenuhi tantangan geopolitik saat ini.

4 dari 4 halaman

Urusan Pertahanan dan Urusan Luar Negeri

Para menteri dan diplomat Inggris dinilai ingin memastikan bahwa Inggris terus dilihat sebagai sekutu yang dapat diandalkan.

Menteri pertahanan Inggris, Ben Wallace, mengunjungi Washington minggu ini untuk diskusi tentang Ukraina dan beberapa skenario terburuk perang.

Andrew Marshall, Senior Vice President of Engagement di Atlantic Council menyebut, Wallace tidak mungkin mengubah peran pemerintah di masa depan. Di sisi lain, pihak dari Kementerian Pertahanan Inggris dituntut untuk memainkan peran penting dalam mendukung Kyiv dengan memberikan dukungan materil, pelatihan, intelijen, dan komunikasi.

Andrew Marshall juga menyorot spekulasi soal pemilu dini, hal yang dia anggap bisa saja akan terjadi.

"Pasti akan ada spekulasi tentang pemilihan dan perubahan pemerintahan. Pemilu memang tidak bisa dilakukan sampai Januari 2025, tetapi kekacauan saat ini bisa membuat perubahan dalam jangka pendek, dan itu bisa saja menjadi mungkin."

"Di Partai Buruh, ada keragaman pendapat tentang hubungan Inggris dengan Amerika Serikat. Tetapi kepemimpinan saat ini sangat mendukung NATO. Menteri pertahanan bayangan baru-baru ini mengunjungi Washington dan berbicara tentang pentingnya memenuhi kewajiban NATO."

"Ada kemungkinan bahwa pemerintahan baru akan dihadapkan pada kendala anggaran untuk pertahanan. Tetapi itu akan terjadi pada pemerintah mana pun. Partai Buruh juga dituntut harus sama-sama membuat pilihan sulit tentang fokus Eropa versus fokus global yang didorong oleh Konservatif."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.