Sukses

Lebanon Terancam Mati Lampu Nasional Akibat Minyak Solar Habis

Ancaman krisis mati lampu di Lebanon terjadi setelah pembangkit daya Al-Zahrani kehabisan solar.

Liputan6.com, Beirut - Pemerintah Lebanon sedang dikejar waktu agar negara tidak mengalami bencana mati lampu massal. Penyebabnya adalah kurangnya pasokan gas oil (minyak solar) untuk pembangkit daya.

Dilaporkan Arab News, Sabtu (27/8/2022), penyedia daya Électricité du Liban (EDL) berkata pihaknya sedang bekerja keras sebelum mati lampu terjadi di bandara, pelabuhan, dan istana kepresidenan.

Masalah dipicu karena pembangkit daya Al-Zahrani kehabisan solar dan berhenti operasi. EDL lantas berencana menggunakan solar grade B ketimbang grade A. Hal itu sudah disetujui Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati dan Menteri Energi Walid Fayad. 

Fayad juga menyebut ada rencana pengalihan minyak solar yang berasal dari pembangkit daya Al-Jiyeh dan Zouk.

Pihak berwenang juga sepakat untuk mengurangi produksi di Al-Zahrani dari seitar 200 megawatts menjadi 40 MW agar bisa memasok listrik ke bandara, pelabuhan, penjara, pompa air, saluran pembuangan, universitas, parlemen, markas pemerintah, dan istana kepresidenan.

EDL juga mengaku masih menanti kiriman solar dari Irak, tetapi butuh waktu 20 hingga 30 hari. Produksi listrik EDL memang bergantung dengan Irak, meski sudah ada pembicaraan kerja sama energi dengan Yordania dan Mesir.

Menteri Energi Walid Fayad berkata Lebanon juga mengandalkan Bank Dunia, namun rencana itu tertahan karena Bank Dunia menambah syarat, termasuk penambahan tarif. Hal itu butuh persetujuan menteri keuangan.

Sempat ada kekhawatiran masalah mati lampuini akan berdampak pada sektor telekomunikasi, namun Plt. Menteri Telekomunikasi Johnny Corm berkata sektor itu tidak bergantung pada EDL untuk beroperasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Cegah Harga BBM Naik, DPR Desak Jokowi Beli Minyak Murah Rusia

Masalah kebutuhan energi saat ini sedang dirasakan berbagai negara di Eropa hingga Asia, termasuk di Indonesia. Politisi PKB lantas meminta Indonesia membeli minyak ke Rusia yang sedang menjajah Ukraina.

Anggota Komisi VII DPR RI asal Fraksi PKB Syaikhul Islam meminta pemerintah berani membeli minyak asal Rusia demi menekan harga BBM subsidi di Tanah Air. Menyusul, tawaran harga minyak mentah dari Rusia lebih murah 30 persen dibandingkan harga pasar.

"Terkait dengan penawaran impor crude dari Rusia lebih murah 30 persen, kita ndak ambil alangkah gobloknya kita. Dengan crude murah nggak ada kenaikan BBM (subsidi). Malah turun kalau perlu harganya kan gitu," tegasnya dalam rapat kerja bersama Menteri ESDM di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (24/8).

Dia menyampaikan, penawaran harga minyak murah dari Rusia ini harus dimanfaatkan betul. Sebab, pemerintah tidak perlu untuk melakukan penyesuaian harga BBM subsidi yang justru ama memicu inflasi.

"Ini penting demi kemaslahatan rakyat," tekannya.

Lanjutnya, banyak negara Eropa sebagai sekutu Amerika Serikat juga tetap mengimpor minyak asal Rusia. Mengingat, harga yang lebih murah daripada pasaran.

"Goblok kalau takut impor minyak mentah dari Rusia. Karena sekutu Amerika (AS) yang dari Eropa itu tetap impor energi dari Rusia," tutupnya.

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, Rusia menawarkan kepada Indonesia harga minyak 30 persen lebih murah dibanding harga pasar Internasional. Lantaran, sebelumnya India sudah lebih dulu membeli minyak dari Rusia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat ingin mengambil tawaran tersebut. Namun, beberapa Menteri mengaku kurang setuju, sebab jika Indonesia membeli minyak Rusia, dampaknya akan ada embargo dari Amerika Serikat.

3 dari 4 halaman

Jerman Pilih Opsi Penggunaan Batu Bara

Pada pertengahan Agustus, pembangkit listrik tenaga batu bara Jerman kembali beroperasi. Pembangit listrik ini sebelumnya dihentikan karena dampak iklim yang sangat merugikan dunia. Jerman memiliki program untuk menghapus semua listrik yang dihasilkan batu bara pada tahun 2038.

Berdasarkan laporan DW Indonesia, 13 Agustus 2022, sekarang pemerintah Jerman menelan pil pahit untuk mengizinkan pembangkit listrik tenaga batu bara kembali beroperasi. Diharapkan keputusan ini akan menggantikan listrik berbahan bakar gas yang saat ini mencapai sekitar 10% dari keseluruhan bauran konsumsi energi Jerman.

Kanselir Olaf Scholz berbicara tentang tindakan darurat sementara "diberlakukan untuk waktu yang sangat singkat yang tidak mengambil apa pun dari target iklim kita."

Ia juga menyebut, "apa yang tidak boleh terjadi adalah kita meluncur ke kebangkitan global energi fosil, dan khususnya batu bara.”

Komitmen ini seolah berbanding terbalik dengan data global pada tahun lalu yang menunjukan bahwa dunia menggunakan begitu banyak batu bara untuk menghasilkan listrik. Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan bahwa pola permintaan tinggi dan produksi tinggi yang sama akan terulang tahun ini.

Alexander Bethe, Ketua Dewan Asosiasi Importir Batu Bara yang berbasis di Berlin, yakin akan hal itu. "Musim dingin ini, kami pasti akan mengimpor lebih dari 30 juta ton batu bara keras untuk menjaga pembangkit listrik kami tetap beroperasi. Itu berarti 11% sampai 2021," paparnya.

Sebelum perang di Ukraina, 50% batu bara untuk pembangkit listrik Jerman diimpor dari Rusia. Namun, pada tanggal 9 April lalu, Uni Eropa memberi sanksi Rusia dengan melarang penjualan dan impor batu bara dan minyak, meski sanksi itu tidak diimplementasikan dengan segera. Pengiriman minyak akan dilakukan hingga akhir tahun, sedangkan pengiriman batu bara hanya dapat dilakukan dan dibongkar hingga 10 Agustus 2022.

4 dari 4 halaman

Jepang Berencana Hidupkan Kembali PLTN

Sebelas tahun setelah gempa bumi dan tsunami yang berujung pada penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, negaranya saat ini sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang masa operasional dan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir generasi baru.

"Jepang perlu mengingat skenario potensi krisis," kata Kishida.

Dikutip DW Indonesia, Kamis (25/8), pengumuman Kishida pada Konferensi "Transformasi Hijau" yang dilakukannya secara virtual karena dirinya positif terinfeksi COVID-19, merupakan penyimpangan dari kebijakan resmi yang diumumkan sebelumnya di Jepang.

Negara akan memutuskan kebijakan barunya pada akhir tahun, katanya.

Setelah bencana Fukushima, kebijakan pemerintah dan opini publik tiba-tiba bergeser pada pengurangan penggunaan tenaga nuklir, mengingat aktivitas seismik yang signifikan di Jepang. Pembangkit listrik yang ada hanya diizinkan untuk digunakan selama 60 tahun lagi.

Setelah Fukushima, pihak berwenang menetapkan batas 40 tahun pada masa operasi pembangkit listrik tenaga nuklir, dengan kemungkinan tambahan 20 tahun jika langkah-langkah keamanan yang ketat dipatuhi.

Di tahun 2030, Jepang berharap dapat mengurangi konsumsi tenaga nuklir hingga mencapai sekitar seperlima dari kapasitas negara, pengurangan yang signifikan sebelum insiden Fukushima. Jepang telah menyatakan harapannya untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050 mendatang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.