Sukses

Dubes Sri Lanka di RRC Bantah Masuk Jebakan Utang China

Duta Besar Sri Lanka di RRC membahas ongkos proyek pembangunan yang bersumber dari China.

Liputan6.com, Beijing - Duta Besar Sri Lanka di Republik Rakyat China (RRC), Palitha Kohona, membantah bahwa negaranya terjebak utang China (debt trap). Kohona mengakui adanya proyek-proyek negaranya yang dibiayai China, serta membantah adanya protes luas dari dalam negeri terkait proyek tersebut.

"China telah membiayai sejumlah proyek-proyek skala besar di Sri Lanka, seperti Colombo Port City dan pelaburan Hambantota dan zona industri. Kami belum mendengar banyak yang angkat bicara di dalam negara terhadap proyek-proyek tersebut," ujar Dubes Kohona dalam wawancara dengan media pemerintah China, Global Times, dikutip Senin (18/7/2022). 

"Para pengkritik dari luar menyebut masalah utang kita berasal dari proyek-proyek yang dibiayai China ini. Itu adalah propaganda yang seenaknya," lanjutnya.

Pelabuhan Hambantota sempat disorot media internasional karena jatuh ke tangan China. Media The Diplomat menyebut 70 persen saham pelabuhan itu disewa ke China selama 99 tahun. 

Namun, Dubes Kohona berkata media asing melebih-lebihkan. Dubes Kohona berkata sewa pelabuhan itu bukan untuk membayar utang ke China, tapi membayar utang-utang lain.

"Dana yang didapat dari penyewaan China dari pelabuhan itu tidak digunakan untuk membayar utang-utan China, tetapi digunakan untuk membayar utang-utang lain dari peminjam-peminjam lain yang bukan orang China. Saya pikira tidak ada banyak fakta di balik tudingan-tudingan 'jebakan utang' tersebut," ujar Dubes Sri Lanka.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Apresiasi Bantuan China

Dubes Sri Lanka juga berkata China telah memberikan bantuan kemanusiaan berupa paket senilai 500 juta yuan. Selain itu, China juga menawarkan bahan bakar, pupuk, dan pangan, termasuk beras.

Ia berkata ada 60 juta warga China yang menonton isu Sri Lanka, dan angka itu dinilai tiga kali lebih besar dari populasi Sri Lanka, sehingga Dubes Sri Lanka berharap ada hal nyata yang terwujud dari perhatian warga China.

"Saya juga berharap warga China yang melihat foto-foto yang beredar dari Sri Lanka akan terdorong untuk meminum lebih banyak teh Sri Lanka, dan membeli produk-produk Sri Lanka, itu akan menolong kami di tahap menengah ketimbang utang-utang yang kami berhasil dapatkan," ujar Dubes Kohona.

Terkait pemberian bantuan, Dubes Sri Lanka juga mengapresiasi bantuan dari India, dan ia tidak melanjutkan narasi persaingan antara China dan India dalam membantu negaranya, dan kedua negara itu sama-sama membantu. 

Dubes Sri Lanka turut berbicara mengenai negosiasi utang dengan IMF, namun belum ada kepastian. Meski demikian, ia berkata diskusi yang terjadi akhir Juni 2022 berlangsung dengan memuaskan. Pertemuan selanjutnya dengan IMF akan dilakukan pemerintah yang baru. 

 

3 dari 4 halaman

IMF Sebut Sri Lanka Jadi Peringatan Bagi Ekonomi Negara Asia Lain

Sebelumnya dilaporkan, Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa krisis ekonomi di Sri Lanka merupakan peringatan bagi ekonomi di negara-negara Asia lainnya.

Diketahui bahwa Sri Lanka tengah berada di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memicu protes besar dan melihat presidennya mundur setelah melarikan diri dari negara itu.

"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Tidak terabaikan lagi Sri Lanka menjadi tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari BBC, Senin (18/7). 

Lebih lanjut, Georgieva mengatakan bahwa negara-negara berkembang juga mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut, menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju terhambat.

Sri Lanka kini sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti pangan, bahan bakar dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya, saat negara itu berjuang melawan krisis valuta asing.

Inflasi Sri Lanka sendiri telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Ditamah lagi, Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini.

Sejumlah besar publik di negara itu menyalahkan kepemimpinan mantan presiden Gotabaya Rajapaksa dalam menangani ekonomi dengan kebijakan yang dampaknya hanya diperparah oleh pandemi Covid-19.

Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah besar utang.

Bulan lalu, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negerinya.

Para pejabat Sri Lanka telah bernegosiasi dengan IMF untuk paket bailout USD 3 miliar. Namun pembicaraan tersebut saat ini terhenti di tengah masalah politik.

4 dari 4 halaman

Kemlu RI: Ada 16 WNI Paling Terdampak Krisis di Sri Lanka

 Kementerian Luar Negeri RI menyebut ada 16 WNI di Sri Lanka yang paling terdampak krisis. Hal ini didapatkan atas laporan dari KBRI Kolombo.

"Ada 16 yang paling terdampak krisis. KBRI telah mengirimkan bantuan logistik dan finansial untuk 16 WNI tersebut," kata Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dalam press briefing Kemlu RI, Kamis (15/7). 

"Bantuan logistik ke 16 WNI tersebut, tidak semuanya menerima bantuan logistik dan finansial. Ada 3 WNI yang mendapat bantuan finansial lantaran berada di luar kota," tambahnya.

Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Judha Nugraha memastikan bahwa WNI di Sri Lanka dalam kondisi aman.

Judha Nugraha mengatakan bahwa pihaknya terus menjalin komunikasi dengan perwakilannya di KBRI Kolombo.

"9 Juli lalu, terjadi unjuk rasa di Sri Lanka, istana presiden diserbu. Ada korban luka, tidak ada info korban WNI yang terlibat dalam aksi unjuk rasa," ujar Judha Nugraha dalam press briefing secara virtual Kemlu RI, Kamis (14/7/2022).

"KBRI Kolombo mencatat ada 340 WNI di Sri Lanka dan adalah mayoristas adalah pekerja migran dan bekerja di sektor wisata. Semuanya alhamdulillah dalam kondisi baik dan termonitor oleh KBRI."

Judha menekankan, berbagai langkah-langkah telah dilakukan oleh KBRI Kolombo dan otoritas. KBRI juga melakukan meeting koordinasi untuk memastikan kondisi WNI.

"Kami juga menjalin komunikasi dengan pihak pemberi kerja sehingga hak-hak pekerja tetap terpenuhi."

"KBRI juga telah menyampaikan bantuan logistik pada WNI kita yang paling terdampak."

"Kemudian ada imbauan para WNI kita agar membatasi aktivitas di laur rumah dan mengindari kerumunan massa."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.