Sukses

Temuan Baru soal Legenda Paus Perempuan yang Konon Pernah Memimpin Vatikan?

Legenda Abad Pertengahan menyebut kisah soal Paus Yohana atau Joan yang konon pernah memimpin Vatikan selama dua tahun. Fiksi semata?

Liputan6.com, Adelaide - Sebuah pertanyaan ditujukan pada Pemimpin Takhta Suci Vatikan, Paus Fransiskus pada 2016 lalu: bisakah seorang perempuan menjadi pemuka agama Katolik?

Meski dikenal sebagai sosok reformis, Paus asal Argentina itu tegas berkata tidak. Ia merujuk pada sikap pendahulunya.

"Santo Paus Yohanes Paulus II punya posisi dan pernyataan jelas terkait itu," kata Paus Fransiskus seperti dikutip dari The Guardian, merujuk pada dokumen dari tahun 1994 yang menegaskan bahwa seorang perempuan tak bisa jadi imam.

Namun, sebuah legenda Abad Pertengahan menyebut kisah soal Paus Yohana atau Joan yang konon pernah memimpin Vatikan selama dua tahun, pada tahun 853 hingga 855 Masehi.

Berdasarkan legenda dari Abad ke-13, yang ditulis biarawan Dominika dari Polandia bernama Martin Polonus, konon Paus Johannes Anglicus atau Yohanes Anglikus yang sejatinya adalah seorang perempuan yang menyamar menjadi pria.

Sang penulis juga mengklaim, saat menjadi pemimpin umat Katolik, Paus Yohana konon hamil dan melahirkan dalam sebuah prosesi kepausan.

Klaim tersebut tak hanya kontroversial, namun juga sulit dibuktikan. Perdebatan tak berujung juga muncul terkait apakah ada paus bernama Johannes Anglicus atau Yohanes Anglikus.

Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Selasa (18/9/2018), nama Johannes Anglicus atau Yohanes Anglikus tak ada dalam dokumen kepausan yang diterbitkan Vatikan.

Namun, menurut Michael Habicht, arkeolog di Flinders University, Adelaide, Australia, catatan identitas para paus selama Abad Pertengahan dan Abad ke-9 memang tak lengkap.

Salinan tertua "Liber Pontificalis" atau biografi para paus selama awal Abad Pertengahan juga tak menyebut nama Paus Benediktus III.

Michael Habicht juga memimpin studi yang menyelidiki legenda Paus Yohana. Menurut dia, menguak apakah sosok tersebut nyata atau tidak, memecahkan misteri agama dan sejarah, tetapi juga faktor yang jadi perdebatan di era modern terkait peran perempuan di gereja.

"Perdebatan tentang pentahbisan perempuan di gereja masih terus berlangsung," kata Habicht.

Michael Habicht mengaku menemukan sebuah simbol dalam koin-koin dari Abad Pertengahan yang mengindikasikan bahwa Paus Yohanes Anglikus nyata adanya -- atau bahwa kita Paus Yohana mungkin bukan fiksi belaka.

Riset bermula ketika Habicht melakukan investigasi terkait makam para paus di Roma.

"Awalnya, saya yakin kisah tentang Paus Yohana sekedar fiksi belaka. Namun, setelah melakukan riset secara meluas, lebih, dan lebih, muncul kemungkinan ada hal lain di balik cerita itu," tambah dia kepada Live Science.

Habicht menganalisis koin-koin perak yang disebut sebagai deniers yang digunakan di Eropa Barat selama Abad Pertengahan.

Nama koin tersebut diambil dari kepingan perak pada era Romawi Kuno yang disebut debarius. Ukurannya sangat kecil.

Koin deniers, yang diteliti Habicht, memuat nama kaisar Frank di satu sisi dan monogram paus pada sisi lainnya. Monogram adalah simbol yang menggunakan inisial nama seseorang.

Habicht awalnya fokus pada koin-koin yang menyandang atribut Paus Yohanes VIII, yang memimpin dari 872 hingga 882 Masehi. Namun, ia menemukan koin lain yang diduga berasal dari masa sebelumnya -- yang menyandang monogram yang berbeda secara signifikan, dari penempatan huruf hingga desain.

Koin-koin tersebut, menurut Habicht, mungkin adalah milik Paus Yohanes yang berbeda, atau lebih spesifik, Johannes Anglicus atau Yohanes Anglikus -- yang mungkin saja adalah Paus Yohana.

Habicht mencatat sejumlah sumber sejarah yang mengindikasikan bahwa Paus Yohanes Anglikus memerintah dari tahun 856 hingga 858. Salah satunya, penulis sejarah, Conrad Botho yang menulis, seorang Paus Yohanes menobatkan Louis II dari Italia sebagai Kaisar Romawi Suci pada tahun 856.

"Monogram adalah cikal bakal tanda tangan yang ada saat ini," kata Habicht. "Jadi, kita mungkin memiliki semacam tanda tangan milik Paus Yohana."

Menurut Habicht, urutan paus di pertengahan abad kesembilan seharusnya mencakup Leo IV (846 hingga 853), diikuti oleh Benediktus III (853 hingga 855), Johannes Anglicus atau Yohanes Anglikus (856 hingga 858), dan Nicholas I (858 hingga 867).

Ia menambahkan, berdasarkan literatur ilmiah, koin-koin tersebut tidak palsu.

"Hampir tidak ada pasar pengumpul untuk koin-koin abad pertengahan seperti itu," kata Habicht. Dengan demikian, diduga kuat tak ada pemalsu yang berniat menjiplaknya.

"Sejumlah koin kepausan dari Abad ke-9 Masehi ditawarkan pada balai lelang di New York. Sebagian besar koin itu tidak terjual dan dikembalikan kepada pemiliknya."

Habicht menambahkan, mungkin ada sejumlah orang yang menerima hasil studinya dan menemukan bukti lain terkait dugaan perempuan yang jadi pemuka agama Kristiani pada permulaan abad. "Di sisi lain, akan ada orang yang sepenuhnya menolak gagasan itu," kata dia.

Habicht merinci temuannya dalam sebuah buku berjudul Pope Joan pada 28 Agustus 2018.

 

Saksikan video terkait Vatikan berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Legenda Palsu?

Setidaknya ada dua film yang dibuat tentang Paus Yohana, perempuan Inggris yang menyamar di balik jubah biarawan, untuk menjadi pastor -- sesuatu yang dilarang keras dalam Gereja Katolik.

Seperti diceritakan, konon, Yohana mengalahkan para pria dalam studi agama, peringkatnya naik menjadi kardinal, lalu paus. Juga dikatakan, ia melahirkan dan akhirnya meninggal dunia di tengah prosesi kepausan.

Namun, baik Vatikan maupun para sejarawan menolak mentah-mentah klaim ini. Diarmaid MacCulloch, teolog dan sejarawan dari Oxford University mengatakan, kisah tentang Paus Yohana hanyalah mitos. Tak ada nilai sejarahnya, kecuali sekadar fiksi satir.

Tapi, "Ia terus menarik rasa penasaran dan minat," kata dia, seperti dimuat CNN. "Yang diembuskan orang-orang Abad Pertengahan yang anti-kepausan. Para Protestan. Juga pendukung revolusi Prancis yang ingin mendeskreditkan gereja."

Diarmaid menambahkan, kisah itu juga didukung segelintir pemeluk Katolik sendiri, yang ingin melihat keberadaan imam perempuan. "Bagi saya, ini aspek yang paling berbahaya dari cerita ini: menggunakan sebuah cerita yang terang-terangan tidak masuk akal demi tujuan yang baik."

Apapun, masih ada yang meyakini keberadaan Paus Yohana. Pertanyaan yang selalu diulang-ulang, mengapa ada kursi khusus yang digunakan di masa lalu yang konon untuk mengecek jenis kelamin Paus?

Atau, bagaimana dengan Vicus Papissa atau Road of the Lady Pope -- sebuah jalan kecil atau gang dari Abad Pertengahan yang dihindari dalam prosesi kepausan? Menurut legenda, jalan itu adalah tempat di mana Paus Yohana meninggal saat melahirkan.

Namun sejarawan membantah klaim itu. Jalan itu diberi nama Vicus Papissa tak ada kaitannya dengan keberadaan Paus Yohana, melainkan terkait keluarga Pape yang pernah tinggal di sana.

Legenda Paus Yohana dijadikan inspirasi bagi perempuan untuk mengimbangi dominasi pria di Gereja Katolik Roma.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.