Sukses

Menanti Babak Akhir Kasus Priok

Insiden berdarah di Tanjungpriok, Jakarta Utara, 12 September 1984, akhirnya memasuki masa persidangan. Kubu keluarga korban terpecah dua: menerima islah dan menyeret para tersangka ke meja hijau.

Liputan6.com, Jakarta: Tanjungpriok, 12 September 1984. Kawasan utara Jakarta itu memanas menyusul sebuah kerusuhan yang menewaskan sejumlah orang. Ada yang menyebutkan korban tewas berjumlah 28 orang, bahkan ada yang bilang sedikitnya 100 orang terbunuh. Pengumuman resmi pemerintah saat itu menyebutkan korban meninggal sebanyak sembilan orang. Sedangkan data dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD) kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan jumlah korban tewas 23 orang. Tak cuma pembunuhan, perampokan dan perkosaan juga diduga mewarnai insiden yang terkenal dengan sebutan Peristiwa Tanjungpriok itu.

Kini, setelah 19 tahun berlalu, penyelesaian kasus tersebut masih dipertanyakan. Terutama dari pihak keluarga korban. Saat Soeharto berkuasa, kasus ini dianggap selesai. Tak seorang pun personel aparat keamanan, yang menurut keluarga korban melakukan kekerasan, ditindak. Boleh dikatakan, kasus itu seolah dipetieskan. Barulah setelah Soeharto lengser, keluarga korban dan sejumlah kalangan meminta kasus itu dibuka kembali. Keluarga korban sepakat menuntut orang-orang yang diduga menjadi dalang. Di antaranya, mantan Panglima Daerah Militer Jaya Try Sutrisno, bekas Panglima ABRI L.B. Moerdani, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal TNI Sriyanto, Mayjen TNI Purnawirawan Pranowo, dan Mayjen TNI (Purn) Rudolf Butarbutar.

Peristiwa Tanjungpriok berawal dari reaksi warga setempat atas keputusan pemerintah yang menetapkan azas tunggal Pancasila. Saat itu, hampir di banyak masjid, para ulama berceramah menentang keputusan tersebut, termasuk Amir Biki, salah seorang korban. Pamflet-pamflet bernada kecaman serupa juga ditempelkan di masjid dan musala, termasuk Musala As-Saadah di kawasan Koja, Jakut.

Sersan Satu Hermanu, Babinsa Kelurahan Koja Selatan yang sedang berpatroli di daerah itu meminta pengurus musala melepaskan pamflet yang isinya menghasut masyarakat dan menghina pemerintah, jajaran Kodim, dan polisi. Saat itu, isu yang berkembang, Hermanu ke musala tanpa membuka sepatu. Keesokan harinya, Hermanu kembali ke Musala As-Saadah. Namun dia mendapati pamflet belum dilepas. Karena itu, dia kembali mengajak pengurus musala untuk membincangkan masalah tersebut. Di luar musala, warga sekitar mulai berkumpul. Entah bagaimana, suasana terus panas. Buntutnya, sepeda motor Hermanu dibakar. Empat warga ditangkap menyusul insiden ini. Mereka, yaitu Ahmad Sahih, Sofwan bin Sulaiman, Syarifudin Rambe, dan Muhammad Nur, disangka sebagai motor aksi tersebut.

Pada 12 September 1984, digelar tablig akbar di Jalan Sindang dengan menghadirkan Amir Biki sebagai penceramah. Ribuan orang hadir dari berbagai kawasan Jakarta, bahkan Cirebon dan Bogor, Jawa Barat. Saat itu, suasana memang terus memanas. Warga meminta empat penduduk yang ditahan dibebaskan.

Dalam ceramahnya, Amir Biki dikabarkan juga menuntut agar keempat warga dibebaskan. Bahkan, seperti dituturkan Mayjen Sriyanto yang saat itu menjabat sebagai Kasi-2/Ops Kodim 0502 Jakarta Utara dengan pangkat kapten, Amir sempat menelepon Kodim dan mengancam membunuh warga Koja keturunan Cina serta membakar pertokoan mereka jika keempat tahanan tak dibebaskan hari itu. "Serahkan teman-teman kami yang ditahan. Saudara-saudara setuju?" kata Amir dalam ceramahnya saat itu.

Suasana terus memanas. Belakangan, sejumlah massa bergerak menuju Markas Kodim 0502. Di Jalan Yos Sudarso, rombongan warga bertemu jajaran TNI. Serentetan tembakan pun dilepaskan untuk membubarkan massa. Karena massa tak kunjung bisa dibubarkan, tembakan mulai diarahkan ke warga. Sejumlah penduduk bertumbangan.

Kerusuhan berlanjut. Menurut seorang saksi mata, ada sekelompok orang berpakaian pangsi serba hitam mengacung-acungkan senjata tajam sambil berteriak, "Ganyang Cina". "Ada yang langsung masuk ngancam pake pedang panjang ke perut orang tua saya," kata seorang seorang korban yang keturunan Tionghoa. Setelah memburai usus perut orang tuanya, dia melanjutkan, para pria berpakaian serba hitam tersebut juga membawa kabur duit keuntungan yang didapat orang tuanya setelah berdagang seharian itu.

"Ada yang putrinya diperkosa," kata warga yang lain. "Seminggu kemudian meninggal dia," kata warga itu. Sementara Budi, sebut saja begitu, mengaku kehilangan delapan anggota keluarganya. Peristiwa Tanjungpriok memakan ayah, ibu, kakak, dan adik-adiknya.

Meski penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM Tanjungpriok menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak 23 orang, keluarga Amir Biki--juga menjadi korban insiden ini--mengatakan bahwa jumlah korban tewas kemungkinan lebih banyak lagi. Dugaan ini berdasarkan jumlah tembakan yang dikeluarkan aparat keamanan. "Caranya menembak dari jam sebelas sampe jam satu. Derrodododododot," kata anggota keluarga korban. Apalagi, Wali Kota Jakut saat itu juga mengatakan pihaknya menurunkan empat unit mobil pemadam kebakaran untuk menyiram sisa-sisa darah yang berceceran.

Kini, setelah 19 tahun berlalu, upaya keluarga korban untuk menuntaskan kasus tersebut tengah dalam perjalanan. Persidangan kasus ini masih berlangsung dengan menampilkan terdakwa Kapten Arteleri Sutrisno Mascung dan 10 anggota TNI lainnya. Saat peristiwa terjadi pada 1984, Sutrisno menjabat sebagai Komandan Regu III Art. Pasukan pertahanan udara yang berpangkalan di Tanjungpriok.

Yang menarik, keluarga korban terpecah dua. Satu kubu bersikukuh bahwa keadilan hanya bisa didapat dengan menyeret kasus tersebut ke pengadilan. Kubu lain memilih melupakan masa lalu, lantas membuka pintu maaf melalui islah [baca: Kasus Priok, Islah Vs Pengadilan]. Yang jelas, masing-masing kubu punya alasan tersendiri. Kita tunggu saja.(SID/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.