Sukses

Selain Stunting, Peningkatan Angka Gangguan Jiwa Juga Pengaruhi Pembangunan SDM Berkualitas

Salah satu penentu SDM berkualitas adalah bebas stunting. Namun, stunting bukan satu-satunya masalah yang dihadapi.

Liputan6.com, Jakarta Dalam membangun sumber daya manusia atau SDM berkualitas jelang Indonesia Emas 2045 banyak tantangan yang dihadapi Indonesia.

Mulai dari masalah stunting hingga mental emotional disorder. Hal ini disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo dalam keterangan resmi.

Menurutnya, Indonesia sebetulnya sudah harus membangun kualitas SDM yang hebat sejak lama. Ini agar peluang bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal.

Salah satu penentu SDM berkualitas adalah bebas stunting. Namun, stunting bukan satu-satunya masalah yang dihadapi.

"Stunting memang menurun menjadi 21,6 persen. Tapi ingat, kalau kualitas SDM tidak hanya ada stunting yang menentukan. Salah satu yang menggerus produktivitas adalah juga mental emotional disorder," kata Hasto dalam keterangan pers dikutip Senin (26/2/2024).

Menurut pandangan Hasto, banyak perilaku yang berkategori mental emotional disorder. Dan remaja Indonesia banyak yang mengidap masalah mental ini. Angkanya naik dari 6 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen di 2019.

"Gangguan jiwa berat juga mengalami kenaikan. Angkanya 1,7 persen tahun 2013 menjadi 7 persen tahun 2018," ungkap Hasto seraya menambahkan bahwa disabilitas salah satunya autisme juga meningkat angkanya mencapai 3,3 persen.

"Permasalahan kesehatan tidak cukup dari fisik stunting atau tidak stunting, tapi juga jiwanya," ujarnya mengingatkan, sambil mengutip slogan "Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.”

2 dari 4 halaman

Masalah Toxic People Pengaruhi Pembangunan Keluarga

Masalah juga dapat timbul dari orang-orang di sekitar, terutama orang-orang bermasalah yang biasa disebut toxic people.

"Toxic people kata anak remaja kita. Jadi, orang toxic (racun) berteman dengan orang toxic, atau mungkin orang toxic berteman dengan orang waras, akhirnya konflik terjadi. Walaupun ia tidak stunting, tapi kalau toxic maka ia menjadi orang yang error. Ini repot," paparnya.

Hasto khawatir dengan perilaku toxic people karena mereka dapat memengaruhi proses positif pembangunan keluarga. Sementara, keluarga adalah tempat utama yang membentuk kualitas SDM sejak lahir.

"Kita sepakat, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan BKKBN akan membimbing keluarga menuju keluarga berkualitas. Keluarga yang tentram, mandiri dan bahagia. Tentu di dalamnya jelas ada faktor kesehatan reproduksi yang juga harus menjadi perhatian bersama," urainya.

3 dari 4 halaman

Perceraian Hambat Pembangunan Keluarga Berkualitas

Masalah selanjutnya adalah pertengkaran dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut Hasto, angka perceraian meningkat tajam gara-gara konflik antar suami dan istri.

Hasto menyebut di tahun 2021 angka perceraian mencapai 581 ribu. Saat ini, jumlahnya selalu di atas angka 500 ribu. Sementara, data juga menunjukkan angka perkawinan di negeri ini mencapai 1,9 juta per tahun. 

Dengan kondisi ini, Hasto khawatir cita-cita Indonesia emas 2045 dalam membangun keluarga berkualitas jadi terhambat.

"Itu (pertengkaran keluarga) yang menjadi masalah kecil tapi terus menerus terjadi."

Ia berharap PKBI dan BKKBN ke depan mampu membangun kerja sama menyiapkan keluarga dengan calon-calon pengantin memiliki sikap dewasa dalam menyikapi perbedaan antara suami dan istri.

"Kita bangun agar calon-calon pengantin sehat secara umum maupun secara reproduksi. Dan siap untuk menjadi keluarga yang berencana. Tidak hamil kalau tidak direncanakan, sehingga tidak banyak unwanted pregnancy (kehamilan yang tak diinginkan)," harap Hasto.

4 dari 4 halaman

Bonus Demografis Sudah Tinggalkan Puncaknya

Alasan Hasto mengatakan bahwa SDM berkualitas perlu dibangun sejak lama adalah karena secara nasional bonus demografi di Indonesia sudah meninggalkan puncaknya.

"Orang sering salah paham kita akan memasuki bonus demografi. Sebetulnya sekarang ini kalimat yang tepat, kita akan meninggalkan bonus demografi," kata Hasto.

Dia menambahkan, ini didasari pada dependency ratio (rasio ketergantungan) terendah untuk nasional rata-rata 44,33 sudah terjadi di tahun 2020.

Sejak tahun itu, bangsa ini mulai meninggalkan dependency ratio yang rendah. Dependency ratio merujuk pada perbandingan masyarakat usia non produktif (di bawah 15 dan di atas 65 tahun) dengan masyarakat produktif (usia 15-64 tahun).

Pada 2040, lanjut Hasto, Indonesia akan menyentuh angka 50, di mana yang bekerja 100 dan yang ditanggung 50. Ini adalah angka yang berat untuk keluar dari middle income trap (MIT). MIT adalah sebuah kondisi di mana negara-negara berpendapatan menengah sulit meningkatkan posisi mereka ke pendapatan tinggi.

"Kita bisa keluar dari jebakan MIT apabila puncaknya berada di 40, 41, 43. Itu cukup ringan.  Tetapi ketika menyentuh 50, cukup berat," jelasnya.

Negara-negara yang belum sempat kaya, dalam hal ini middle income countries, masih terjebak di dalam pendapatan menengah ke bawah, tapi sudah terlanjur aging population (populasi berumur/tua).

"Itu menjadi sulit untuk kaya," tutup Hasto.