Sukses

Minim Sumber Daya hingga Sikap Represif Jadi Tantangan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indoneisia

Dosen Universitas Trunojoyo Madura Bima Kurniawan mengatakan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia masih memiliki berbagai tantangan.

Liputan6.com, Jakarta Dosen Universitas Trunojoyo Madura Bima Kurniawan mengatakan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia masih memiliki berbagai tantangan.

Salah satunya adalah dukungan dan sumber daya yang masih minim. Padahal, dukungan dan sumber daya adalah hal yang diperlukan untuk memfasilitasi pembelajaran efektif bagi semua siswa termasuk yang menyandang disabilitas.

“Pada poin ini, dukungan di dalam pembelajaran yang inklusif merupakan salah satu dasar utama yang tidak boleh dikesampingkan. Dukungan itu dapat berupa kompetensi guru yang mumpuni di dalam melaksanakan pendidikan inklusif, atau yang saat ini populer dengan pembelajaran berdiferensiasi,” kata Bima kepada Disabilitas Liputan6.com melalui keterangan tertulis, Sabtu 11 Maret 2023.

Ia menambahkan, pemerintah harus tepat memonitor atau mengawasi secara cermat terkait kebijakan yang telah ditetapkan agar tidak salah alur.

“Terlebih, jangan dilupakan pula instruktur, widyaiswara, dosen yang memberikan pelatihan itu pula harus memiliki integritas dalam nilai inklusif. Jangan sampai pintar melatih akan tetapi tidak pandai dalam mempraktikkan apa yang banyak disampaikan.”

Semua harus bersinergi, lanjut Bima, pemerintah, instruktur, guru, dan peserta didik harus inklusif. Semua harus inklusif agar tercipta lingkungan pendidikan yang inklusif. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sikap Represif Masyarakat

Masalah lainnya yang membuat pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia belum optimal adalah sikap represif masyarakat Indonesia. Sikap represif biasanya berbentuk tekanan, kekangan, dan penindasan.

“Sikap ini yang benar-benar harus dihilangkan oleh individu yang memperjuangkan nilai inklusif di lingkungan pendidikan,” ujar Bima.

Sikap ini dapat memicu ketidaksiapan dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Ketidaksiapan sarana dan manusia dalam menyambut kedatangan peserta didik berkebutuhan khusus merupakan salah satu penodaan pada UU no 8 tahun 2016 pasal 10 huruf A.

Bunyi dari pasal tersebut menerangkan bahwa penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.

3 dari 4 halaman

Pemerintah Harus Bertindak

Lebih lanjut, Bima menyatakan bahwa pemerintah harus bertindak tegas dan mensosialisasikan sikap preventif yang harus diambil oleh instansi pendidikan negeri. Ini perlu diperhatikan guna menyambut dan memberikan layanan maksimal untuk semua tanpa membedakan kemampuan fisik dan mental.   

Di sisi lain, dosen yang juga menyandang disabilitas netra itu menilai bahwa pendidikan inklusif semestinya tidak hanya dilangsungkan di ruang formal saja.

“Pendidikan inklusif harus berlangsung selamanya, sepanjang manusia hidup. Konsep ini kemudian yang dikenal dengan pendidikan sepanjang hayat,” ujar Bima.

Pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning) adalah konsep pendidikan yang menekankan pentingnya belajar dan pengembangan diri sepanjang hidup. Konsep ini menganggap bahwa pembelajaran bukan lah hanya terjadi di masa sekolah atau kuliah, tetapi juga dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Baik di tempat kerja, di lingkungan sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

“Pemerintah dan para penggiat pendidikan inklusif sayangnya saat ini hanya berfokus pada pendidikan di ruang formal saja. Padahal, ada peraturan yang mengatur kehidupan penyandang disabilitas setelah mengenyam pendidikan.”

4 dari 4 halaman

Hak Pekerjaan bagi Pendidik Disabilitas

Peraturan itu salah satunya adalah pasal 11 UU No. 8 tahun 2016 tentang hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang berbunyi:

a. Memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi

b. Memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama

c. Memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan

d. Tidak diberhentikan karena alasan disabilitas

e. Mendapatkan program kembali bekerja

f. Penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat

g. Memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya

h. Memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.

Sedangkan secara khusus, diatur di dalam peraturan yang sama pasal 10 B yang mengatakan bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

“Jika kita kaitkan pasal 10 B dan pasal 11 G, berarti bahwa pendidik dengan disabilitas berhak di dalam memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya,” pungkas Bima.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.