Sukses

Rumitnya Menyusui Bagi Ibu dengan Autisme

Bagi penyandang autisme yang menjadi seorang ibu mungkin cenderung tidak menyusui bayinya. Sehingga mungkin akan sangat terpukul jika terjadi kekurangan susu formula bayi.

Liputan6.com, Jakarta Seorang ibu yang menyandang autisme cenderung tidak menyusui bayinya. Sehingga mungkin akan sangat terpukul jika terjadi kekurangan susu formula bayi.

Seperti yang dialami oleh Wendy Graves, ia merupakan seorang penyandang autisme dan sangat sensitif terhadap sentuhan. Itulah kenapa ia sangat mengandalkan susu formula sejak melahirkan putrinya pada tahun 2018. Meskipun awalnya ia ingin menyusui, tetapi berubah pikiran ketika konsultan laktasi rumah sakit itu memegang payudaranya tanpa memberitahunya.

Putrinya, sekarang berusia 4 tahun, juga penyandang autisme dan ia tidak banyak makan selain pasta dan sayuran. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, Graves membutuhkan sekitar enam kaleng formula hypoallergenic sebulan.

Tapi tipe khusus itu sangat terbatas. Ia bahkan meminta bantuan teman, keluarga, dan orang tua lain yang memiliki kelainan saraf di Facebook untuk mengirimkan apa pun yang dapat mereka temukan.

Pada pertengahan September, toko-toko kekurangan persediaan susu formula bubuk sekitar 19 persen, menurut firma riset pasar IRI. Terlebih bagi ibu dengan autisme, yang cenderung tidak menyusui, merasa sangat terpukul.

Dalam tinjauan baru-baru ini, peneliti Inggris menemukan beberapa alasan rendahnya tingkat menyusui di antara wanita penyandang autisme. Kebanyakan berkaitan dengan risiko kecemasan dan depresi yang lebih tinggi.

Layanan laktasi pun jarang disesuaikan untuk orang dengan autisme, yang mengarah ke situasi tidak nyaman yang dapat menghalangi wanita seperti Graves, yang juga menderita sindrom Ehlers-Danlos, kelainan jaringan ikat yang langka.

“Kesenjangan sudah ada untuk ibu kelas menengah kulit putih, yang masih belum mendapatkan dukungan yang cukup,” kata Aimee Grant, seorang peneliti di pusat Lactation, Infant Feeding and Translational Research, Swansea University, yang membantu menulis ulasan. “Jadi ketika kita menambahkan hambatan tambahan seperti menjadi autisme dan dari kelompok yang terpinggirkan, maka masalah itu menjadi lebih buruk.”

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sentuhan Menjadi Rintangan Bagi Ibu Menyusui Penyandang Autisme

Dr Grant telah mempelajari menyusui selama bertahun-tahun. Ia memutuskan untuk melihat ibu autisme pada 2019, ketika ia didiagnosis menderita autisme.

Salah satu rintangan paling umum bagi ibu autisme adalah kepekaan mereka terhadap sentuhan, kata para peneliti. Menyusui adalah pengalaman fisik yang intens. Bayi yang lapar, yang meringkuk hangat di dada, mungkin akan menendang atau mengepalkan tangannya, hanya untuk menempel pada payudara yang sakit dan membesar.

Sensasi ini tidak nyaman dan menyakitkan bagi banyak wanita, tetapi persepsi ibu autisme yang tinggi dapat membuat menyusui "sebuah mimpi buruk sensorik," kata Jane Wilson, seorang profesor keperawatan di Palm Beach Atlantic University yang berspesialisasi dalam kesehatan ibu dan anak.

Pada tahun 2020, Dr. Wilson bekerja sama dengan seorang rekan, Bri Andrassy, ​​untuk melakukan penelitian kecil tentang pengalaman menyusui ibu autisme di seluruh dunia. Mereka mewawancarai 23 wanita autisme, 14 di antaranya tinggal di AS, hanya mengajukan satu pertanyaan: "Bisakah Anda memberi tahu kami tentang pengalaman menyusui Anda?"

Sebagian besar wanita menjawab pertanyaan tersebut dengan berbicara tentang perasaan “tersentuh” saat menyusui. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu autisme mengalami isyarat tubuh, seperti menggigil, perut kencang atau kandung kemih penuh, berbeda dari orang yang tidak memiliki autisme. Beberapa ibu dalam penelitian Dr. Wilson cenderung memiliki sinyal yang diredam dan tidak bisa merasakan sakit sampai puting mereka berdarah. Namun, yang lain memiliki isyarat tubuh yang terlalu aktif, membuat tindakan menyusui sangat menyakitkan.

 

3 dari 4 halaman

Pompa ASI Bisa Membuat Stres Ibu Menyusui Penyandang Autisme

Sam, seorang wanita berusia 40 tahun di Washington, berjuang untuk menghasilkan susu yang cukup setelah melahirkan putrinya. Spesialis laktasinya menyarankannya untuk memompa secara teratur. Tapi bagian pompa yang dingin dan keras serta suara mesin yang nyaring dan berirama terlalu membuat stres untuk ditanggung.

Dampak dari stres ini tidak hanya psikologis; itu mempengaruhi berapa banyak susu yang bisa dihasilkan Sam setelah 30 menit memompa. “Saya kadang-kadang melihatnya dan hanya ingin menangis,” kata Sam, yang meminta untuk menyembunyikan nama belakangnya untuk melindungi privasinya. "Kamu bahkan tidak bisa mengisi gelas."

Pada usia lima bulan, dokter menyarankan untuk memberi makan bayinya formula hipoalergenik untuk membantunya menambah berat badan. Meskipun Sam masih mencoba sesekali menyusui putrinya, ia mengalami kesedihan yang mendalam karena tidak dapat mencapai tujuan menyusuinya.

 

4 dari 4 halaman

Berbagai Cara Meredakan Kecemasan Ibu Menyusui Penyandang Autisme

Untuk meningkatkan pengalaman para ibu ini dengan perawatan bersalin, para ahli mengatakan bahwa profesional idealnya harus dilatih oleh individu autisme tentang cara berkomunikasi dengan dan mendukung orang tua autisme. Bahkan pertimbangan sederhana, seperti tidak pernah menyentuh payudara ibu tanpa meminta izin, atau meredupkan lampu terang di kamar rumah sakit, dapat membuat perbedaan besar, kata mereka.

Peneliti juga punya tips untuk penyandang autisme yang sedang menunggu kelahiran anaknya. Berbicara dengan konsultan laktasi sebelumnya dapat meredakan kecemasan seputar menyusui. Beberapa ibu mungkin juga menemukan kenyamanan dalam berhubungan dengan orang tua autisme lain yang memilih untuk menyusui.

Jay Eveson-Egler dan Tayler Egler merupakan penyandang autisme dan mengharapkan kelahiran bayi perempuan di bulan Oktober. Meskipun pasangan tersebut telah mempersiapkan diri selama berbulan-bulan dengan bantuan tim perawatan yang mengkhususkan diri dalam menasihati individu yang memiliki kelainan saraf tentang persalinan, menyusui, dan depresi pascapersalinan, kekurangan susu formula telah membuat mereka merasa cemas dan tidak pasti.

Jay, yang sedang mengandung janin, sangat berharap mendapat kelebihan sensorik dari menyusui, dan susu formula akan menjadi cadangan keluarga. Dengan dukungan yang terancam karena kekurangan susu formula yang lama, Jay berulang kali mengalami mimpi buruk karena tidak dapat merawat bayi pasangan yang baru lahir secara memadai.

Sebagai akibat dari keadaan yang tidak pasti ini, Tayler, yang lebih sensitif terhadap rangsangan sensorik daripada Jay, tetap mulai minum obat untuk menginduksi laktasi. Kedua orang tua bertekad untuk menyusui bayi mereka, terlepas dari tantangan sensorik mereka.

“Orang seringkali tidak berpikir bahwa penyandang autisme bisa menjadi orang tua atau bahkan memiliki kapasitas untuk menjadi orang tua,” kata Tayler. “Kami memang membutuhkan lebih banyak pemahaman dari sistem medis.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.