Sukses

Cerita dari Patrick Vieira: Senang Bisa Mengalahkan Brasil di Dua Edisi Piala Dunia

Piala Dunia dan Brasil. Patrick Vieira punya kenangan baik soal ini. Ia mengajak kita untuk memutar kembali cerita apa yang dia miliki.

Liputan6.com, Jakarta Piala Dunia 1998 adalah kali pertama Patrick Vieira manggung di ajang prestisius turnamen sepak bola. Usianya ketika itu baru 22 tahun. Tentu saja sudah bisa ditebak dia bukan pilihan utama tim pelatih.

Dan benar saja, Vieira memang banyak menghabiskan waktu mula-mula di bangku cadangan. Wajar, sih, karena pilihan utama pelatih Aime Jacquet ketika itu adalah Emanuelle Petit, Youri Djorkaeff, Cristian Karembeu dan Didier Deschamps.

Namun Patrick Vieira adalah salah satu pemain muda bersinar. Di usia yang masih di bawah 20 tahun, pria kelahiran Ghana ini sudah diperebutkan dua raksasa Eropa; Ajax Amsterdam dan Arsenal.

Beruntung buat Arsenal, mereka sukses mengamankan jasa Vieira yang diboyong dari AC Milan. Setelahnya, kita tentu tahu bagaimana perjalanan karier Vieira di sepak bola Inggris.

Tapi, lupakan sejenak soal Vieira dan Arsenal. Mari bicarakan bagaimana penampilannya di Piala Dunia 1998.

Vieira kali pertama mentas saat Prancis menghadapi Denmark. Ketika itu, Les Bleus sudah mengunci tiket ke babak 16 besar.

Seturut dengan pencapaian Prancis, tentu Jacquet berani untuk menurunkan para pemain muda. Nah, Vieira masuk dalam barisan 11 awal dan bermain 90 menit.

Hasilnya tak mengecewakan. Vieira yang bermain di posisi gelandang bertahan mampu menjadi penyeimbang lini tengah. Tapi, permulaan yang baik ini tak menjamin Vieira muda kembali dipercaya. Sebab, tiga laga setelahnya, ia kembali menempati pos utamanya di Piala Dunia: pemain cadangan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Situasi Timnas Prancis Tak Kondusif Setelah Babak Grup Piala Dunia 1998

Vieira muda (mungkin) sudah kadung pasrah. Sebab, laga-laga sulit akan dilalui Prancis setelah di babak grup.

Prancis akhirnya melaju ke panggung terakhir. Bermodalkan kemenangan yang sejatinya bikin pendukung mereka ketar ketir, tapi final sudah di depan mata.

Kekhawatiran memuncak. Rakyat Prancis ketika itu seakan berani bertaruh jika lawan mereka akan melenggang mulus membawa piala.

Bukan tanpa alasan karena Brasil adalah calon lawan Prancis. Juara bertahan Piala Dunia 1994 itu datang dengan membawa pemain senior yang dikombinasikan dengan pemain muda potensial macam Ronaldo dan Rivaldo.

Vieira mengakui bahwa kondisi tim memang tak kondusif jelang laga final.

"Ketika Anda akan menghadapi Brasil, pelatih bahkan tak perlu menjelaskan apa pun," kata Vieira kepada Globi Esporte dikutip laman FIFA.

"Karena ketika Anda berbicara tentang sepak bola, Anda hanya akan berbicara tentang Brasil, Brasil, Selecao," katanya lagi.

Brasil sejatinya tak melalui Piala Dunia 1998 dengan mulus-mulus amat. Di babak grup, mereka sempat kalah 0-1 di laga pemungkas kontra Norwegia setelah dua laga sebelumnya meraih kemenangan.

Tapi, di babak 16 besar hingga semifinal, Brasil betul-betul menunjukkan kelas mereka. Dari tiga laga yang dijalani, tim besutan Mario Zagallo melaju mulus dua kali dengan margin rata-rata gol pertandingan di atas 2.

Di semifinal, langkah Brasil memang nyaris tersendat. Belanda yang menjadi lawan mereka ketika itu, sukses membuat skor imbang sehingga laga berlanjut ke babak adu penalti.

Pada babak tos-tosan, Brasil keluar sebagai pemenang karena dua eksekutor Belanda yakni Phillip Cocu dan Ronald De Boer gagal menunaikan tugas mereka. Sementara Ronaldo, Rivaldo, Emerson dan Dunga, sukses menjalankan tugas mereka. Skor akhir menjadi 4-2 dan berhak mengunci satu tiket ke final.

3 dari 4 halaman

Viera ke Ronaldo: Pemain Terhebat di Generasi Saya

Bicara soal Brasil, kata Vieira, sosok Ronaldo adalah pemain yang memantik perhatian dirinya dan tentu seluruh masyarakat Prancis. Betapa tidak, pemain 21 tahun itu sudah mencetak 4 gol sampai ke babak final.

"Tim Brasil itu luar biasa. Ronaldo adalah salah satu pemain terhebat dari generasi kami. Mengalahkan mereka adalah sesuatu yang akan melekat dalam pikiran kita selamanya."

Pada Piala Dunia 2006 di Jerman, Prancis dan Brasil kembali bertemu. Ini adalah kali keempat dalam sejarah Piala Dunia pertemuan dua kelas berat bertemu untuk keempat kalinya di Piala Dunia.

Pada edisi pertama, legenda Brasil yakni Pele dan Garrincha mengantarkan negaranya menang dengan skor 5-2 di semifinal Piala Dunia 1958 di Swedia. Dan 28 tahun kemudian, saat Piala Dunia 1986 di Meksiko, Prancis menang adu penalti.

Dan pada edisi keempat ini, Prancis menang dengan skor tipis 1-0. Kemenangan ini diraih berkat gol Zinedine Zidane dan mengantarkan Prancis ke babak final.

"Menang atas Brasil sangat sulit," kata Vieira. "Ketika Anda bertemu Brasil di Piala Dunia, Anda harus memainkan permainan yang sempurna untuk menang. Saya pikir, pada 2006 itu, kami memainkan permainan yang fantastis."

"Saya pikir kami semua orang Prancis berada dalam kondisi terbaik kami. Kami memiliki salah satu pemain terbaik di dunia (Zidane), yang dalam performa terbaiknya."

"Tapi saya pikir kami melampaui diri kami sendiri untuk membuat kemenangan itu terjadi, meski menghadapi Brasil tidak pernah mudah. Saya pikir itu adalah salah satu penampilan terbaik Prancis di Piala Dunia."

 

4 dari 4 halaman

Meratapi Kalah di Final dengan Positif

Di final Piala Dunia 2006, saat Prancis mempu unggul lebih dulu dari Italia, harapan Viera untuk mengulang kesuksesan Piala Dunia 1998 membuncah. Namun, faktanya, laga di Olympiastadion harus berakhir pahit untuk Les Bleus kerena mereka kalah 3-5 via adu penalti.

Vieira mengakui bahwa hasil ini memang mengecewakan. Namun, ada beberapa potongan nilai positif yang mengobati luka dirinya dan masyarakat Prancis.

"Generasi kami sangat beruntung bermain di dua final Piala Dunia,” kata Vieira. "Kami bahkan tertatih-tatih di babak kedua melawan Italia."

"Kami bermimpi memenangi laga melawan Italia. Tapi, pertandingan ditentukan melalui adu penalti dan keberuntungan tidak berpihak pada kami. Kami harus akui bahwa skuad Italia itu solid. Tapi saya pikir ketika Anda melihat cara mereka bermain di sepanjang kompetisi Piala Dunia ketika itu, mereka pantas mendapatkan sama seperti yang kami dapatkan pada Piala Dunia 1998."

"Kekalahan yang kami alami memang sangat sulit untuk diterima, tetapi begitulah sepak bola. Terkadang Anda menang; terkadang Anda kalah. Kami memberikan yang terbaik, kami mencoba, tetapi masih sulit untuk memikirkan dan membicarakannya.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.