Sukses

Respons Rusia Usai China Ancam Batasi Transaksi dengan Mitranya

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko membantah bisnis di negaranya mengalami masalah penyelesaian pembayaran dengan China.

Liputan6.com, Jakarta - Rusia membantah kekhawatiran seputar keputusan bank di China menghentikan semua transaksi dengan eksportirnya. Langkah itu dinilai menganggu ekonomi utama Rusia pada saat semakin terisolasinya negara-negara barat.

Dikutip dari Newsweek, Selasa (13/2/2024), Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko membantah bisnis di negaranya mengalami masalah penyelesaian pembayaran dengan China, termasuk melalui the Financial Messaging System, yang setara dengan layanan transaksi keuangan SWIFT di Rusia.

"Tidak, kami tidak punya isu seperti itu. Beberapa bank di China sejauh ini menahan diri untuk melakukan tindakan pencegahan, karena takut terkena sanksi. Namun, kami yakin masalah ini akan terselesaikan,” ujar Rudenko kepada kantor berita Rusia Tass.

China belum secara terbuka kritik keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin karena invasi Ukraina dua tahun lalu pada bulan ini. Pemimpin China telah menawarkan dukungan politik yang berarti kepada Rusia, bahkan ketika banyak perusahaan dan lembaga keuangan China berusaha hindari sanksi barat.

Beberapa bank besar di China khawatir saat berurusan dengan industri pertahanan Rusia, dengan membatasi akses mitra Rusia terhadap layanan mereka atau memutuskan hubungan sama sekali. Sistem pembayaran China UnionPay, yang pernah disebut-sebut sebagai pengganti MasterCard dan Visa juga menarik diri untuk membatasi eksposurnya.

Namun, hal itu tidak hentikan perdagangan dua arah antara China dengan Rusia yang berkembang pesat pada tahun lalu. Kenaikan pembelian energi dan pertanian membantu mendorong omzet tahunan menjadi USD 240,1 miliar pada 2023, naik 26,3 persen dari tahun lalu, menurut data bea cukai China.

Pekan lalu, surat kabar ekonomi Rusia Vedomosti menyampaikan, Zhejiang Chouzhou Commercial Bank telah menangguhkan semua transaksi untuk klien dari Rusia dan juga Belarusia.Bank di China timur tersebut adalah lembaga utama yang dipakai oleh eksportir Rusia.

Keputusan bank tersebut untuk hentikan penyelesaian dengan bisnis Rusia dan Belarusia, dalam mata uang apapun, mungkin terkait dengan perluasan kontrol keuangan Amerika Serikat yang diumumkan dalam beberapa pekan terakhir, pembatasan baru yang dapat menempatkan bank itu pada risiko sanksi sekunder.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dampak China Batasi Layanan dengan Rusia

Kepada Newsweek, sejumlah ahli menuturkan, dampaknya kemungkinan akan terasa pada kemudian hari, setelah periode Tahun Baru Imlek yang biasanya dikaitkan dengan tingkat aktivitas ekonomi yang lebih rendah di China.

Kementerian Luar Negeri China tidak segera menanggapi permintaan komentar Newsweek.

Tass melaporkan, dari pernyataan Rudenko menunjukkan bank mungkin terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan, tetap yakin Moskow dan Beijing akan menyelesaikan masalah ini.

Ia merujuk pada perluasan perdagangan Rusia dengan China yang menurut Rusia diselesaikan hampir secara eksklusif dalam rubel Rusia dan yuan China pada tahun lalu. “Dan ini adalah demonstrasi pertama dari fakta kita memecahkan masalah tersebut,” kata Rudenko.

Juru Bicara Pemerintahan Rusia Dmitry Peskov menuturkan pekan lalu, Rusia melakukan dialog erat dengan China. “Dan tentu saja kami akan menyelesaikan semua masalah yang muncul,” tutur dia.

3 dari 4 halaman

IMF Sebut Ekonomi Rusia Bakal Hadapi Masa Sulit meski Bertumbuh

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperingatkan ekonomi Rusia masih hadapi hambatan yang signifikan meskipun baru-baru ini lembaga yang berbasis di Washington itu melihat kenaikan pertumbuhan.

Dikutip dari CNBC, Selasa (13/2/2024), ekonomi Rusia secara mengejutkan terbukti tangguh di tengah gelombang sanksi barat dalam hampir dua tahun sejak Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina.

Pada akhir bulan, IMF menaikkan perkiraan laju pertumbuhan ekonomi Rusia dari 1,1 persen pada Oktober menjadi 2,6 persen. Meski demikian, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva melihat lebih banyak masalah yang akan terjadi di negara berpenduduk 145 juta jiwa tersebut.

Kepada CNBC, Georgieva menuturkan, hal yang dia yakini mendorong pertumbuhan Rusia dan mengapa angka perkiraan itu tidak menjelaskan keseluruhannya.

“Hal ini menunjukkan kepada kita ini adalah ekonomi perang di mana negara yang perlu diingat memiliki penyangga sangat besar, dibangun dengan disiplin fiskal selama bertahun-tahun, berinvestasi dalam perang ini. Jika Anda melihat Rusia, saat ini produksi meningkat untuk militer dan konsumsi menurun. Seperti itu gambaran Uni Soviet dulu, tingkat produksi tinggi, tingkat konsumsi rendah,” ujar dia.

 

4 dari 4 halaman

Pengeluaran Pertahanan Rusia Meningkat

Pengeluaran pertahanan Rusia meroket sejak perang dimulai. Pada November lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin setuju anggaran negara yang meningkatkan belanja militer menjadi 30 persen dari belanja fiskal atau peningkatan hampir 70 persen dari 2023-2024.

Belanja pertahanan dan keamanan akan mencapai sekitar 40 persen dari total belanja anggaran Rusia tahun ini, menurut analis Reuters.

Namun, pada saat yang sama, lebih dari 800 ribu orang telah meninggalkan Rusia, menurut prediksi akademisi. Banyak di antara mereka yang melarikan diri adalah pekerja berketerampilan tinggi di bidang IT dan sains.

“Saya benar-benar berpikir ekonomi Rusia berada dalam masa sulit karena arus keluar orang dan berkurangnya akses teknologi akibat sanksi,” tutur dia.

“Jadi meskipun angka ini tampak seperti angka yang bagus, ada cerita lebih besar di baliknya, dan ini bukanlah cerita yang bagus,” kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.