Sukses

Tak Semua Turis Asing Kena Pungutan Rp 150 Ribu saat Masuk Bali, 7 Kategori Ini Dikecualikan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menerapkan aturan baru bagi para wisatawan asing dengan mengenaikan pungutan sebesar Rp 150 ribu per orang yang berlaku mulai 14 Februari 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua turis asing atau wisatawan mancanegara (wisman) ditarik pungutan sebesar Rp 150 ribu saat mengunjungi Bali. Terdapat sejumlah turis asing yang dikecualikan pungutan tersebut. 

Untuk diketahui,  Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menerapkan aturan baru bagi para wisatawan asing dengan mengenaikan pungutan sebesar Rp 150 ribu per orang yang berlaku mulai 14 Februari 2024.

"Mereka wajib mengajukan permohonan dengan melengkapi persyaratan yang ditentukan dalam sistem Love Bali," kata Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata Provinsi Bali Ida Ayu Indah Yustikarini dikutip dari Antara, Kamis (8/2/2024).

Adapun tujuh kategori WNA yang mendapat pengecualian dari pungutan sebesar Rp 150 ribu itu yakni pemegang visa diplomatik dan resmi, kru pada alat transportasi angkut/alat angkut, dan pemegang kartu izin tinggal sementara (kitas) atau kartu izin tinggal tetap (kitap).

Kemudian, pemegang visa penyatuan keluarga, pemegang visa pelajar, pemegang golden visa, dan pemegang jenis visa lainnya (jenis visa bisnis).

Sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 36 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pembayaran Pungutan bagi Wisatawan Asing itu pada Pasal 7 ayat 1 disebutkan permohonan pembebasan kewajiban membayar pungutan wajib diajukan minimal satu bulan sebelum memasuki pintu kedatangan di Bali.

Lebih lanjut, dalam ketentuan itu diatur bahwa perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kepariwisataan melakukan verifikasi dan memberikan keputusan atas permohonan itu paling lama dalam lima hari kerja.

Keputusan tersebut berupa persetujuan atau penolakan yang disampaikan kepada wisatawan mancanegara tersebut melalui sistem Love Bali.

"Apabila disetujui sistem Love Bali akan memberikan pemberitahuan dan bukti persetujuan pengecualian kepada WNA berupa tanda bukti persetujuan digital QR code," imbuhnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Baru Berlaku di Ngurah Rai dan Benoa

Untuk tahap awal, pengenaan pungutan itu baru berlaku di terminal kedatangan internasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, dan Pelabuhan Benoa, Denpasar.

Selain melalui dua lokasi itu, pembayaran pungutan juga bisa dilaksanakan melalui agen perjalanan baik daring atau konvensional, hotel, dan daya tarik wisata.

Adapun dasar hukum pungutan wisatawan asing di Bali itu yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, kemudian aturan turunan yakni Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali.

Dalam perda itu disebutkan pungutan wisman memiliki tujuan untuk melindungi adat, tradisi, seni budaya, serta kearifan lokal masyarakat Bali.

Kemudian, pemuliaan serta pemeliharaan kebudayaan dan lingkungan alam yang menjadi daya tarik wisata di Bali, peningkatan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali, dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan dan pengelolaan hasil pungutan bagi wisatawan asing.

3 dari 3 halaman

Bali Tarik Pungutan ke Turis Asing, Pengusaha: Mekanismenya Tidak Tertata

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Haryadi Sukamdani menilai, pemberlakuan pungutan bagi wisman ini tidak tertata dengan baik. Justru, keputusan tersebut akan membuat provinsi lain mengikuti jejak Pemprov Bali.

"Menurut pandangan kami mekanisme yang juga ke Bali tidak tertata dengan baik sebagai suatu instrumen perpajakan secara keseluruhan," kata Haryadi saat ditemui di kantor Mahkamah Konstitusi usai mengajukan uji materil pajak hiburan, Rabu (7/2/2024).

Menurut Haryadi alasan Pemprov Bali memberlakukan pungutan bagi wisman senilai Rp 150 ribu, lantaran Pemprovnya merasa tidak mendapatkan pemasukan atas kegiatan pariwisata di wilayahnya.

"Kenapa terjadi di Bali seperti itu? karena Provinsi Bali itu merasa bahwa mereka tidak mendapatkan pendapatan atas kegiatan pariwisata yang merupakan kegiatan ataupun sektor ekonomi yang paling memberikan kontribusi paling besar, tetapi yang mendapatkan adalah pemerintahan tingkat dua yaitu kabupaten dan kota," jelasnya.

Haryadi menyarankan, jika memang Pemprov Bali ingin menerapkan kebijakan tersebut, maka kebijakannya bisa diatur lebih baik. Dikhawatirkan, akan diikuti daerah lain apabila kebijakannya belum matang dan bisa menimbulkan masalah baru.

"Pandangan kami seharusnya diatur lebih baik ke depan, karena kalau seperti itu kita khawatirkan semua daerah akan menambah tambahan lagi. Nanti kalau Bali bikin entar daerah lain bikin dengan berbagai alasannya dia akan seperti itu dan itu nanti akan kontraproduktif," pungkasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.