Sukses

Beda dengan Karaoke dan Spa, Pemerintah Larang Tarif Pajak Panti Pijat di Atas 10%

Kementerian Keuangan melarang pemerintah daerah untuk mengenakan pajak di atas 10 persen atas jasa hiburan panti pijat dan pijat refleksi. Menyusul, telah berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan melarang pemerintah daerah untuk mengenakan pajak di atas 10 persen atas jasa hiburan panti pijat dan pijat refleksi. Menyusul, telah berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pemerintah melakukan penurunan tarif PBJT (Pajak Barang Jasa Tertentu) atas jasa kesenian dan hiburan secara umum dari semula sebesar paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen. Penyesuaian pungutan pajak hiburan ini merupakan komitmen pemerintah dalam pengembangan pariwisata di daerah.

"Pajak hiburan umum seperti pajak untuk pijat itu seharusnya tidak boleh lebih dari 10 persen," kata Lydia dalam Media Briefing di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).

Meski demikian, pajak untuk jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dengan menetapkan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen.

Hal tersebut mempertimbangkan bahwa jasa hiburan diskotek, karaoke, hingga spa pada umumnya hanya di konsumsi masyarakat tertentu. 

Penetapan Tarif

Lydia menambahkan, penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.

"Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara," ucap Lydia.

Kemudian itu, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam pengembangan pariwisata di daerah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Daftar Hiburan Dapat Keringanan Pajak

Selain pijat, berikut daftar hiburan yang mendapat keringanan pajak maksimal 10 persen, meliputi:

a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;

b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

c. kontes kecantikan;

d. kontes binaraga;

e. pameran;

f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;

g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;

h. dan permainan ketangkasan;

i. olahraga permainan dengan menggunakan

tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;

j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang. 

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Inul Daratista Protes Pajak Karaoke Cs 40%-75%, Kemenkeu Beri Jawaban Menohok

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan merespon protes pengusaha atas pengenaan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar, hingga spa mulai dari 40 persen sampai dengan 75 persen. Besaran pungutan pajak ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pengenaan besaran pajak hiburan 40 persen hingga 75 persen tersebut karena penikmat hiburan karaoke hingga spa tersebut berasal dari masyarakat kalangan tertentu. 

"Bahwa untuk jasa hiburan spesial tertentu tadi dikonsumsi masyarakat tertentu. Sehingga, tidak dikonsumsi oleh masyarakat secara terbuka atau masyarakat kebanyakan," ujar Lydia dalam Media Briefing di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).

Lanjutnya, pengenaan pajak hiburan khusus tersebut telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Dalam proses pembahasan UU HKPD bersama DPR RI disepakati bahwa besaran pungutan pajak hiburan karaoke hingga spa mulai dari 40 persen hingga 75 persen.

"Jadi, dalam dinamika pembahasan bersama DPR maka ketemu lah angka segitu," ucap Lydia.

Selain itu, kinerja keuangan bisnis karaoke, diskotek, hingga spa juga telah berhasil pulih ke level sebelum pandemi. Lydia mencatat, pendapatan pajak daerah dari hiburan khusus tersebut mencapai Rp2,4 triliun pada 2019 lalu. Sedangkan, data internal untuk tahun 2023 berjalan telah terkumpul Rp2,2 triliun.

"Jadi, 2019 total pendapatan dari pajak hiburan adalah tertentu Rp2,4 triliun. Covid 2020 turun tuh terjun Rp787 miliar. Di 2021, makin turun Rp477 miliar. Lalu covid 2022, itu naik dari Rp 477 miliar menjadi Rp1,5 triliun. Dan sekarang sudah hampir mendekati sebelum covid, data kami di 2023  sementara itu Rp2,2 triliun," bener Lydia.

Lydia menyebut bahwa UU HKPD juga tetap membuka ruang bagi pelaku usaha diskotek, karaoke, hingga spa untuk mengajukan insentif bagi yang merasa kesulitan untuk membayarkan kewajiban pajaknya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.

 

4 dari 4 halaman

Pasal 101 Ayat 3

Dalam pasal 101 Ayat 3 mengatur bahwa Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:

a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;

b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;

c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;

d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau

e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

"Tapi, nantinya pelaku usaha bersangkutan diharuskan untuk mengajukan laporan keuangan ke pada masing-masing pemerintah daerah," pungkas Lydia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.