Sukses

5 Produsen Militer Jual Senjata ke Taiwan, China Bakal Beri Sanksi

Departemen luar negeri AS bulan lalu menyetujui penjualan peralatan senilai USD 300 juta atau sekitar Rp 4,65 triliun untuk membantu memelihara sistem informasi taktis Taiwan.

Liputan6.com, Jakarta - China akan memberikan sanksi kepada lima produsen militer Amerika Serikat (AS) sebagai tanggapan atas penjualan senjata AS terbaru ke Taiwan.

Hal itu disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri pada Minggu, 7 Januari 2024. Penjualan senjata Amerika Serikat (AS) ke Taiwan sering menjadi sumber ketegangan antara Washington dan Beijing. China memandang Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai wilayahnya, sebuah klaim yang ditolak oleh pemerintah Taiwan. Demikian dikutip dari Channel News Asia.

Sanksi ini dijatuhkan menjelang pemilihan presiden dan parlemen Taiwan pada 13 Januari 2024, yang mana China memilih antara perang dan perdamaian.

Departemen luar negeri AS bulan lalu menyetujui penjualan peralatan senilai USD 300 juta atau sekitar Rp 4,65 triliun (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.521) untuk membantu memelihara sistem informasi taktis Taiwan.

Juru bicara mengatakan, dalam sebuah pernyataan kalau penjualan senjata baru-baru ini sangat merusak kedaulatan dan kepentingan keamanan China, sangat membahayakan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

Perusahaan yang akan terkena sanksi adalah BAE Systems Land and Armaments, Alliant Techsystems Operations, AeroVironment, Viasat dan Data Link Solutions.

“China akan membekukan aset perusahaan-perusahaan ini dan melarang orang atau organisasi di China untuk melibatkan mereka,” ujar juru bicara tersebut.

Adapun kedutaan besar AS di Beijing tidak segera menanggapi permintaan komentar.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Raksasa Migas Aramco Berencana Akuisisi Perusahaan Petrokimia China

Sebelumnya diberitakan, raksasa energi Arab Saudi, Aramco, berencana meningkatkan investasi pada mitranya di Tiongkok, seiring dengan perluasan kehadirannya di negara tersebut.

Melansir CNN Business, Jumat (5/1/2024) perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia itu sedang dalam pembicaraan untuk mengakuisisi maksimum 50 persen saham di anak perusahaan Rongsheng Petrochemical, Ningbo Chongjin Petrochemical, kata perusahaan Tiongkok itu dalam pengajuannya ke Bursa Efek Shenzhen.

Rongsheng, kilang milik swasta yang berbasis di Hangzhou, mengatakan pihaknya juga sedang mendiskusikan kemungkinan mengambil 50 persen saham di Saudi Aramco Jubail Refinery Company, unit penyulingan perusahaan Arab Saudi, menurut nota kesepahaman yang ditandatangani kedua belah pihak pada hari yang sama.

Kedua perusahaan tersebut juga dapat bersama-sama meningkatkan dan memperluas peralatan anak perusahaannya di Tiongkok dan membangun proyek besar Bahan Baru Rongsheng (Zhoushan).

Proyek ini akan membuat petrokimia berkinerja tinggi, seperti plastik rekayasa, poliester khusus, dan resin kelas atas yang dapat digunakan pada perangkat elektronik dan semikonduktor.

 

3 dari 4 halaman

Perkuat Hubungan Energi dengan China

Arab Saudi telah secara signifikan memperkuat hubungan energinya dengan Tiongkok sejak tahun lalu.

Pada Maret 2023, Aramco sepakat untuk membeli 10 persen saham Rongsheng seharga 24,6 miliar yuan atau USD 3,5 miliar.

Sebagai bagian dari kesepakatan itu, mereka akan memasok 480.000 barel minyak mentah per hari ke perusahaan Tiongkok.

Tiongkok juga berupaya meningkatkan kehadirannya di Arab Saudi.

Sinopec, raksasa pengilangan milik negara, memiliki usaha patungan dengan Aramco yang mengoperasikan proyek kilang di Kota Industri Yanbu di Arab Saudi.

Perusahaan Pengilangan Yanbu Aramco Sinopec, yang telah beroperasi sejak 2016, menggunakan 400.000 barel per hari minyak mentah untuk memproduksi bahan bakar transportasi premium, menurut perusahaan tersebut.

 

4 dari 4 halaman

Bursa Saham China Catat Koreksi Terbesar pada 2023

Sebelumnya diberitakan, bursa saham China absen pada pesta bursa saham global pada 2023.Sejumlah faktor mulai dari krisis real estate hingga tingginya pengangguran kaum muda telah berdampak terhadap bursa saham China.

Dikutip dari CNN, Sabtu (30/12/2023),  meski 2023 merupakan tahun terbaik bagi bursa saham global sejak sebelum pandemi COVID-19 dengan pasar di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan India menikmati reli yang kuat, investor semakin melirik China.

Serangkaian masalah termasuk krisis real estate, belanja konsumen yang melemah dan tingginya pengangguran kaum muda telah membuat  China tidak berada dalam posisi yang menguntungkan.

Indeks saham blue chip CSI 300 China turun lebih dari 11 persen pada 2023. Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong merosot hampir 14 persen. Sementara itu, indeks MSCI World menguat 22 persen, dan catat pertumbuhan terbesar tahunan sejak 2019.

Indeks S&P 500 di Amerika Serikat dan indeks Stoxx 600 di Eropa masing-masing naik hampir 25 persen dan 13 persen pada akhir 2023. Indeks Nikkei 225 di Jepang telah melonjak 30 persen sejak awal tahun. Indeks acuan Sensex yang berisi 30 perusahaan besar telah naik hampir 19 persen pada 2023.

Saham-saham telah kembali bangkit berkat turunnya inflasi, meningkatkan harapan investor kalau bank sentral dunia akan segera menurunkan suku bunga, serta euforia atas potensi kecerdasan buatan yang dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan.

Di sisi lain, India memperoleh keuntungan dari spekulasi bullish terhadap perekonomiannya. Sedangkan saham di Jepang sebagian diuntungkan oleh valuasi yang relatif murah dan melemahnya mata uang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini