Sukses

Industri Sawit Indonesia Sedang Tak Baik-Baik Saja, Ini Penyebabnya

Saat ini kondisi industri kelapa sawit di dalam negeri sedang kurang bagus. Hal itu dipengaruhi oleh menurunnya harga minyak nabati secara global.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengungkapkan, saat ini kondisi industri kelapa sawit di dalam negeri sedang kurang bagus. Hal itu dipengaruhi oleh menurunnya harga minyak nabati secara global.

Ia pun menilai perkembangan ekspor kelapa sawit dikuartal II-2023 memang mengalami kenaikan, namun jika dibandingkan dengan tahun 2022 pada periode yang sama, maka ecara nilai angkanya justru mengalami penurunan.

“Sekarang kondisinya memang kurang bagus, contoh ekspor kita dibandingkan tahun 2022 pada periode yang sama itu naik, tetapi secara angka, nilai itu turun karena harga minyak nabati dunia itu turun,” kata Eddy dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Rabu (23/8/2023).

Lebih lanjut, Eddy menyebut kelapa sawit bukanlah satu-satunya minyak nabati di dunia. Walaupun kelapa sawit memiliki pangsa pasar terbesar di dunia sebanyak 33 persen, namun sisanya masih diisi oleh minyak nabati lainnya.

“Jadi, sawit ini tidak bisa berdiri sendiri. Apabila terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain, sudah pasti nantinya juga akan berpengaruh terhadap harga minyak sawit,” katanya.

Harga Minyak Nabati

Menurutnya, jika terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain maka hal itu akan memengaruhi harga minyak nabati dari sawit. Misalnya, ketika awal terjadinya perang Rusia-Ukraina, beberapa negara khawatir minyak nabati biji bunga matahari dari kedua negara tersebut tidak bisa di ekspor.

Alhasil, dengan dihentikannya ekspor minyak nabati yang berasal dari biji bunga matahari tersebut, membuat harga minyak nabati naik tajam, bahkan mendorong terjadinya penghentian ekspor sawit dari Indonesia.

“Harga minyak nabati naik tajam, dan terjadi tragedi ekspor Indonesia di stop. Apa yang terjadi? (Padahal) waktu itu produksi sedang bagus, akhirnya stok penuh, TBS petani juga tidak tertampung, dan akhirnya busuk dipohon. Karena kita tidak bisa minta ke pohon agar buahnya jangan dimatengin dulu, kan tidak bisa. Sehingga akhirnya harganya jatuh,” ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Harga Sawit Anjlok

Adapun anjloknya harga sawit dikarenakan para pembeli atau buyer di luar negeri sudah mengetahui jika Indonesia memberhentikan ekspornya maka akan terjadi penumpukan stok yang berlimpah.

Alhasil, Pemerintah Indonesia akan membuka keran ekspor sawit dengan harga yang murah, dan itu menjadi kesempatan bagi buyer.

“Jadi mereka santai saja, ‘sudah nanti pasti kita akan bisa beli, tidak usah kita beli sekarang’. Memang tidak sesuai harapan. Karena memang sebenarnya bursa di dunia ini tidak ada yang mandatory (wajib), semuanya adalah voluntary (sukarela), di situ ada pertemuan antara supply dan demand, nah akhirnya akan terbentuk harga,” pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Transaksi CPO di Bursa Komoditas Diharap Bersifat Sukarela

Pemerintah diminta tidak melakukan pemaksaan atau mewajibkan pelaku usaha untuk bertransaksi melalui bursa komoditas CPO. Biarkan transaksi yang dilakukan para pelaku usaha berlangsung alamiah.

Hal itu dikatakan Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani. Menurutnya, bursa komoditas CPO yang digagas pemerintah ini secara umum bagus. Karena untuk menghidupkan transaksi perdagangan komoditas CPO di Indonesia mengingat Indonesia merupakan produsen CPO dunia.

“Tapi itu dilakukannya seharusnya dengan sukarela atau volunteer, bukan secara mandatory. Pelaku usaha bertransaksi di situ tidak ada pemaksaan. Ibaratnya saya mau beli beras di Pasar Jatinegara, Pasar Rumput Manggarai, di Pasar Minggu itu kan terserah saya. Yang saya dengar itu kan semuanya transaksinya wajib lewat situ (Bursa Komoditas CPO),” kata Dendi dikutip Senin (10/7/2023).

Dendi beralasan, ada jenis transaksi CPO yang kurang pas apabila dipaksakan melalui bursa. Misalnya, kata dia, ada beberapa perusahaan besar yang melakukan kontrak pembelian CPO dalam jangka panjang. Perusahaan seperti ini memerlukan kepastian supply CPO dalam jumlah tertentu secara cepat dan barangnya berkualitas. Jenis transaksi seperti itu tidak cocok melalui bursa.

“Misalnya Unilever itu biasa punya kontrak jangka panjang sama produsen CPO. Dia juga kan butuh supplier yang punya kredibilitas, bisa jaga delivery time yang cepat, berkualitas. Yang kayak-kayak gitu kan dia nggak lewat spot market, tapi lewat kontrak jangka panjang. Artinya nggak boleh ada pemaksaan, ya biarin saja semua berjalan alamiah,” papar Dendi.

 

4 dari 4 halaman

Bursa Derivatif Malaysia

Menurut Dendi, jika kita mengacu pada Bursa Derivatif Malaysia dan Bursa Komoditas Rotterdam, mereka juga tak melakukan mandatory atau memaksakan kepada pelaku usaha. “Semuanya berlangsung sukarela. Kita harus kembali ke filosofi dasar bahwa perdagangan itu tidak ada pemaksaan,” katanya.

Dendi mengingatkan ke Kemendag agar lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerapkan aturan perdagangan CPO melalui bursa CPO ini. “Sebaiknya itu voluntary, nggak bisa pemaksaan. Kalau pemaksaan repot, nggak bakalan bisa ketampung juga,” tegas Dendi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.