Sukses

Goldman Sachs Ramal Peluang AS Resesi Masih Ada, Kapan?

Goldman Sachs memangkas prediksi kemungkinan resesi AS, menjadi 20 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 25 persen .

Liputan6.com, Jakarta Kepala Ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius mengungkapkan bahwa ia memprediksi resesi Amerika Serikat akan dimulai dalam 12 bulan ke depan. 

Goldman Sachs pun memangkas prediksi kemungkinan resesi pada perekomonian AS, menjadi 20 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 25 persen .

"Alasan utama pemangkasan kami adalah karena data baru-baru ini telah memperkuat keyakinan kami bahwa menurunkan inflasi ke tingkat yang dapat diterima tidak memerlukan resesi," jelas Jan Hatzius dalam sebuah catatan penelitian, dikutip dari US News, Selasa (18/7/2023).

Ekspektasi pasar tentang hard landing - sebuah skenario di mana kenaikan suku bunga Federal Reserve mengarahkan ekonomi ke dalam resesi - baru-baru ini ditentang oleh data yang menunjukkan perlambatan inflasi harga konsumen dan produsen pada bulan Juni.

Menurut ekonom Goldman Sachs, kerlambatan inflasi kemungkinan akan mengarah pada kebijakan moneter yang lebih dovish ke depan.

"Kami memperkirakan beberapa perlambatan dalam beberapa kuartal mendatang, sebagian besar karena pertumbuhan pendapatan pribadi yang lebih lambat secara berurutan ... dan hambatan dari pinjaman bank yang berkurang," ungkap Jan Hatzius.

Namun, dia memperkirakan ekonomi AS akan terus tumbuh, meski dengan kecepatan di bawah tren.

Ekonom Goldman Sachs juga mengatakan, bagaimanapun, ada "jalan yang masuk akal" bagi The Fed untuk memangkas suku bunga hanya karena inflasi yang lebih rendah.

Hatzius melihat, bank sentral AS kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin lagi pada pertemuan penetapan suku bunga pekan depan, dalam apa yang dia perkirakan akan menjadi kenaikan terakhir dari siklus pengetatan moneter.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menkeu AS Janet Yellen Yakin Amerika Serikat Tak Bakal Resesi

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen kembali menyuarakan optimismenya bahwa perekomonian AS tak akan jatuh ke dalam jurang resesi. Keyakinan ini dengan berlandaskan kekuatan pasar tenaga kerja dan data inflasi yang menunjukkan kemajuan.

"Saya tidak mengharapkan resesi," kata Yellen, dikutip dari laman MarketWatch, Selasa (18/7/2023).

"Saya pikir kita berada di jalur yang baik untuk menurunkan inflasi. Data inflasi terbaru cukup menggembirakan," ujar Menkeu AS dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television, di sela-sela pertemuan pejabat keuangan G20 di India.

 "Saya pikir kita berada di jalur yang baik di Amerika Serikat," tambah Yellen.

Namun, dengan data pertumbuhan ekonomi China yang lebih lemah dari perkiraan, Yellen mengakui bahwa pertumbuhan yang lambat di sana dapat menimbulkan beberapa dampak negatif untuk AS.

Pekan lalu, data resmi menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen atau tingkat inflasi AS naik hanya 0,2 persen menjadi 3 persen pada Juni 2023. Ini menandai level inflasi terendah sejak Maret 2021.

Sementara itu, tingkat inflasi inti AS menyentuh 4,8 persen, tingkat tahunan terendah sejak Oktober 2021. Perkiraan konsensus sebelumnya memproyeksi inflasi inti AS akan naik 0,2 persen menjadi 5 persen.

Menurut George Mateyo, kepala investasi di Key Private Bank, angka-angka tersebut dapat memberi Federal Reserve ruang untuk bernafas karena tampaknya akan menurunkan inflasi AS yang berada di sekitar tingkat tahunan 9 persen di tahun 2022, tertinggi sejak November 1981.

3 dari 4 halaman

AS Menjauh dari Jurang Resesi, Pertumbuhan Ekonomi Tembus 2,2 Persen di Awal 2023

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat berada dalam laju yang lebih kuat dari yang dilaporkan sebelumnya pada awal tahun.

Melansir BBC, Jumat (30/6/2023) data terbaru dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan bahwa ekonomi AS tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 2 persen di kuartal pertama tahun ini.

Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS tercatat hanya 1,3 persen di kuartal pertama. Koreksi ini disebut sebut mencerminkan belanja konsumen yang kuat.

Seperti diketahui, Bank sentral AS atau Federal Reserve telah berupaya mendinginkan inflasi dengan secara rutin menaikkan suku bunga utamanya sebesar lima poin persentase sejak Maret 2022, menjadi lebih dari 5 persen.

The Fed juga masih memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga lebih lanjut tahun ini.

Di sisi lain, pergerakan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi yang lebih berat, karena tingkat yang lebih tinggi membebani aktivitas, seperti pengeluaran dan ekspansi bisnis.

Dalam sebuah pertemuan di Eropa minggu ini, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa kebijakan saat ini tidak cukup untuk memerangi inflasi.

"Meskipun kebijakan membatasi, itu mungkin tidak cukup membatasi dan belum cukup lama," kata Powell dalam panel yang diselenggarakan oleh Bank Sentral Eropa di Portugal.

4 dari 4 halaman

Pengangguran Berkurang

Banyak perusahaan AS telah melaporkan kekhawatiran tentang prospek awal tahun ini, tetapi perekrutan tetap kuat dan data lainnya memberikan gambaran yang lebih cerah.

"Narasi tentang pergeseran pertumbuhan, sekali lagi. Tanda-tanda perlambatan sedikit," kata Diane Swonk, kepala ekonom di KPMG.

Harga konsumen di AS mencapai 4 persen selama 12 bulan hingga Mei, menurut Departemen Tenaga Kerja. Itu adalah laju inflasi paling lambat dalam dua tahun, mencerminkan penurunan biaya bahan bakar sejak lonjakan tahun lalu.

Tetapi harga barang lainnya terus meningkat. Inflasi inti AS, yang tidak termasuk biaya energi dan pangan tercatat 5,3 persen di kuartal pertama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini