Sukses

Gunung Es Raksasa di Antartika Terbelah, Apa Bahayanya untuk Alam?

Gunung es berukuran sekitar 1.550 kilometer persegi dan setebal 150 meter lepas dari Antartika, dekat stasiun penelitian British Antarctic Survey (BAS)

Liputan6.com, Jakarta Masyarakat dunia dihebohkan dengan terbelahnya gunung es raksasa di Antartika. Disebut gunung es raksasa karena ukurannya yang hampir seukuran kota London, Inggris. Gunung es berukuran sekitar 1.550 kilometer persegi dan setebal 150 meter lepas dari Antartika, dekat stasiun penelitian British Antarctic Survey (BAS).

Terbalahnya gunung es raksasa ini, lantas apa bahanya untuk alam? Ahli Ekologi BAS Geraint Tarling mengatakan, pecahnya gunung es besar bakal berdampak besar terhadap ekosistem laut yang mendukung kekayaan keanekaragaman satwa laut yang ditemukan di kawasan Antartika.

"Saat gunung es mencair, ia akan melepaskan banyak nutrisi yang bisa bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman mikroskopis, seperti fitoplankton di dasar jaring makanan laut," ungkap Tarling, melansir Science Alert, dikutip Liputan6.com, Kamis (16/3/2023)

Sisi negatifnya, pencairan es dalam skala besar membuang banyak air tawar ke laut yang menurunkan tingkat salinitas dan membuat air tidak cocok untuk banyak fitoplankton dan zooplankton yang memakannya. ”Efek ini bisa saja mengalir ke atas jaring makanan untuk ikan, burung, anjing laut, dan paus,” terangnya.

Penipisan Lapisan Es

Sementara itu, riset terbaru di Kutub Utara menunjukkan adanya penipisan lapisan es lebih dari setengahnya dalam 15 tahun terakhir. Ilmuwan Inggris telah memantau pertumbuhan retakan besar gunung es baru yang belum diberi nama di Beting Es Brunt selama dekade terakhir. Beting Es Brunt atau Brunt Ice Shelf adalah lokasi Stasiun Riset Halley British Antarctic Survey (BAS).

"Para ahli glasiologi dan tim operasi kami telah mengantisipasi peristiwa ini. Pengukuran beting es dilakukan beberapa kali sehari menggunakan jaringan otomatis instrumen GPS presisi tinggi," terang Profesor Dame Jane Francis, Direktur Survei Antartika Inggris (British Antarctic Survey/BAS) dari laman BNO News.

Tanda-tanda pertama perubahan jurang yang disebut Chasm-1, yang terbengkalai selama setidaknya 35 tahun, terdeteksi lewat pemantauan satelit pada 2012 lalu. Perubahan itu mulai berkembang pada tahun 2015, dan Chasm-1 terus tumbuh meluas ke seluruh lapisan es pada Desember 2022.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gung Es Baru

Menurut keterangan BAS, gunung es baru terbentuk di sepanjang garis Chasm-1 dan sedikit lebih besar dari A74 (Gunung Es yan runtuh tahun 2021). Kemungkinan akan mengikuti jalur A74 di Arus Pesisir Antartika dan ahli gletser BAS akan melacak pergerakannya.

Survei Antartika Inggris mengatakan pembentukan gunung es baru, proses alami yang disebut calving, bukan karena perubahan iklim. Namun, fenomena ini mempercepat hilangnya es laut di Kutub Utara dan sebagian Antartika.

 

 

3 dari 3 halaman

Seberapa Tebal Es Antartika Sebenarnya?

Es di tepi benua Antartika memiliki ekosistem yang subur. Anjing laut dan penguin berkembang biak, ikan menjadi dewasa, dan ganggang berkembang biak, semuanya berkat es laut yang tertambat ke pantai, yang disebut es cepat.

Untuk memahami seberapa cepat es melindungi ekosistem ini dan untuk menilai kesehatan dan masa depan area tersebut, para ilmuwan perlu mengukur seberapa tebal es Antartika yang terikat pantai di sepanjang bagian pantai yang berbeda—perkiraan yang tidak dapat dipahami oleh para ilmuwan di masa lalu.

Enam+01:14VIDEO: Viral! Emak-emak Joget di KuburanDilansir dari Eos.org, dalam sebuah studi baru, Langhorne et al. memberikan perkiraan yang lebih andal tentang ketebalan es cepat Antartika dengan mengukurnya dari pesawat terbang. Teknik ini merupakan penyempurnaan dari upaya-upaya sebelumnya.

Misalnya, ia memiliki jangkauan geografis yang lebih luas daripada mengebor es; itu bisa menembus es laut, tidak seperti radar; dan memberikan perkiraan yang lebih pasti daripada satelit.

Metode tersebut, yang disebut suara induksi elektromagnetik udara, menggunakan perangkat yang disebut "Bird" yang ditarik di bawah pesawat pada ketinggian hanya 15 meter. Bird mentransmisikan medan magnet melalui es dan masuk ke air laut konduktif. Di sana, medan magnet menginduksi arus listrik kecil yang dapat dideteksi oleh Bird untuk memberi tahu para ilmuwan seberapa tebal es tersebut.

Para peneliti menggunakan sistem tersebut untuk mensurvei bagian pantai sepanjang 700 kilometer di Laut Ross, sebuah teluk besar di Samudra Selatan yang menjadi rumah bagi stasiun penelitian Pangkalan Scott, McMurdo, dan Zucchelli. Daerah ini terkenal dengan gletser terapung dan rak esnya, keduanya distabilkan oleh es cepat.

Selama survei mereka pada November 2017, es cepat di wilayah tersebut rata-rata memiliki ketebalan sekitar 3 meter, dengan ketebalan paling umum adalah 2 meter. Sekitar setengah dari es yang disurvei itu kasar — akibat terhempas ke pantai oleh badai.

Air lelehan dari bawah beting es dan gletser terapung membentuk lapisan cair kristal es setebal 10 meter di bawah sebagian es cepat. Menurut Penulis Sains, Saima May Sidik, pengukuran tersebut memberikan dasar untuk studi masa depan.

"Dengan informasi ini, para peneliti berharap dapat melacak es cepat Antartika saat Bumi berubah dan iklim menghangat," pungkas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.