Sukses

4 Penyebab Stagflasi Dunia, dari Perang hingga Proteksionisme

Kepala Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), Wira Kusuma menjelaskan, stagflasi merupakan sebuah kondisi ekonomi yang melambat.

Liputan6.com, Jakarta - Terdapat empat penyebab stagflasi global yang bisa terjadi saat ini. Keempat penyebab stagflasi tersebut adalah pandemi covid-19, geopolitik, gangguan rantai pasok dan proteksionisme.

Kepala Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), Wira Kusuma menjelaskan, stagflasi merupakan sebuah kondisi ekonomi yang melambat dan biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga pokok atau inflasi.

Saat ini ada empat isu utama yang mendorong terjadinya stagflasi. Pertama, pandemi covid-19. Memang saat ini sudah terjadi pemulihan ekonomi di beberapa negara sebagai dampak dari penanganan sangat baik. Namun tidak bisa dipungkiri masih ada risiko yang berlanjut dengan munculnya beberapa varian meskipun tidak seberat varian sebelumnya.

Isu kedua adalah ketegangan geopolitik yang masih berkepanjangan di luar perkiraan. Isu geopolitik ini adalah mengenai perang Rusia dengan Ukraina yang sampai saat ini belum ada titik damai.

Ketiga, ada tren proteksionisme yang dilakukan negara-negara untuk mengamankan pasokannya terutama pangan. Tren proteksionisme  ini tentu saja membuat beberapa negara yang tergantung impor atau dari negara lain menjadi kelabakan. 

Keempat, gangguan rantai pasokan atau supply chain disruption

"Empat hal ini menyebabkan adanya risiko stagflasi. Empat isu ini membuat dinamika perekonomian global menjadi sedikit berubah,” kata Wira dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (25/7/2022).

Menurutnya, saat ini PDB dunia menurun perkembangannya, kemudian harga komoditas global meningkat dengan adanya proteksionisme dan supply chain disruption, yang menyebabkan inflasi global meningkat.

Sehingga dengan latar belakang tersebut, terutama di advance ekonomi dengan adanya inflasi global yang meningkat di negara-negara itu maka mendorong akselerasi respon moneter, terutama di advance ekonomi, seperti Amerika Serikat.

“Dimana kita melihat perkembangan Fed fund rate itu meningkat drastis dan kita ramalkan di Juli ini akan meningkat 75 basis poin. Ini menyebabkan kondisi pasar keuangan global itu ketidakpastiannya semakin meningkat,” ujarnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengaruh ke Ekonomi Domestik

Hal-hal semacam ini tentunya mempengaruhi ekonomi domestik. Untuk sektor riil, PDB Indonesia perkembangannya dari tahun 2021 sampai Juni 2022 terpantau harga komoditas global meningkat tinggi, yang membuat ekspor Indonesia naik.

“Ekspor menjadi sumber pertumbuhan hingga saat ini,” imbuhnya.

Disisi lain, penanganan covid-19 oleh Pemerintah Indonesia yang sangat baik ini menciptakan mobilitas yang tinggi, dan meningkatkan aktivitas ekonomi yang juga meningkatkan permintaan domestik.

“Ke depan dengan perkembangan ekonomi global yang slowing down, kemungkinan prediksi kami sumber pertumbuhan PDB kita akan banyak didominasi oleh permintaan domestik,” katanya.

Dari sisi eksternal, Bank Indonesia melihat, dengan ekspor yang meningkat tersebut maka current account Indonesia hingga kini tercatat surplus. Selain itu, dengan perbaikan iklim investasi itu juga mendorong PMA tetap masuk.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Aliran Modal

Namun, dengan adanya ketidakpastian di financial market yang masih tinggi menyebabkan aliran modal ke emerging market termasuk Indonesia menjadi tertahan. Tapi secara umum sektor eksternal Indonesia yang digambarkan oleh neraca pembayaran Indonesia masih solid.

“Karena portofolio terjadi capital outflow itu menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar. Namun kalau kita bandingkan tingkat depresiasi negara-negara tetangga, kita relatif lebih baik dibanding negara lain,” ujarnya.

Contoh, sampai 20 Juli Indonesia hanya terdepresiasi 4,9 persen, namun negara seperti Malaysia 6,42 persen, India 7,05 persen, Thailand 8,93 persen. Artinya, Indonesia relatif kita lebih baik dari negara lain.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.