Sukses

Pakai BBM Oktan Tinggi buat Jaga Mesin

BBM jenis Peralite (RON 90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50 persen pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite.

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan harga sejumlah bahan bakar minyak atau BBM beroktan tinggi dampak melonjaknya harga minyak dunia diprediksi akan mendorong konsumsi BBM dengan kualitas di bawahnya.

Namun hal ini diyakini tidak akan berlangsung serta merta karena pemilik kendaraan pasti akan tetap memperhatikan kondisi mesinnya.

Ini diungkapkan Prof Deendarlianto, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, seperti dikutip, Minggu (13/3/2022).

"Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya," ujar dia.

BBM jenis Pertalite (RON 90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50 persen pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite.

Selain itu, Pertamina juga menjual beberapa jenis BBM berkualitas seperti Pertamax (RON 92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).

Deendarlianto mengungkapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan PSE, perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi.

Bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat.

Menurut Guru Besar Teknik Mesin UGM itu, dari sisi teknis jika ada konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite, mereka tentunya akan berpikir ulang karena alasan kinerja mesin tadi.

Namun, hal itu tidak bisa dihindari karena masih ada kalangan masyarakat yang membutuhkannya.

"Isu kualitas BBM ini kan sempat ramai juga tahun lalu, katanya Premium mau dihilangkan. Saya sebenarnya setuju itu karena memang emisinya jauh lebih besar. Dari pertimbangan net zero emission harusnya Pertamina memang sudah mulai mengurangi premium sehingga kita mulai beralih," jelas dia.

Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan BBM fosil secara umum masih akan mengalami kenaikan. Ini sesuai dengan proyeksi yang disusun pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sampai 2030.

Berdasarkan data pada jurnal yang diterbitkan Elsevier, yang ditulis Deendarlianto bersama dua rekannya yakni Indra Candra Setiawan dan Indarto pada 2030, konsumsi minyak sebagai bahan bakar transportasi masih yang terbesar dengan persentase mencapai 64 persen. Kemudian sektor industri (31 persen), komersial (1 persen), rumah tangga (1 persen) dan lainnya (4 persen).

Lebih rinci lagi, berdasarkan jurnal bertajuk Energy Policy tersebut, BBM terbanyak akan disedot oleh sektor transportasi darat atau jalan raya dengan persentase mencapai 90 persen.

"Total konsumsi minyak pada 2030 akan mencapai 122,6 miliar liter dan khusus untuk kendaraan roda empat sebesar 49,5 miliar liter," ucap dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Model Kebutuhan Energi

Deendarlianto menambahkan PSE UGM juga telah membuat model kebutuhan energi khususnya BBM dengan mempertimbangkan bakal masuknya sumber energi lain seperti biodiesel, mobil listrik, etanol, hingga CNG.

"Data ini digunakan juga oleh Kemenperin dalam merancang aturan industri otomotif nasional. Beberapa tahun ke depan memang secara linier kendaraan BBM naik, mungkin sampai 2025, lalu flat dan turun karena masuknya kendaraan dengan bahan bakar lain. Tapi tidak mungkin turun sampai 0," kata dia.

Dalam kajian PSE UGM, ujar Deendarlianto, sektor otomotif ke depan akan mengarah teknologi yang didesain menghasilkan produk rendah emisi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan lain harus melihat secara integral semua sektor terkait, mulai dari industrinya, pengembangan infrastruktur jalannya, hingga kebijakannya.

"Rendah emisi berarti BBM harus ramah lingkungan. Maka saya setuju dengan penghapusan premium. Dari dulu saya setuju. Pertimbangannya pertama green energy, makanya kita masuk ke transisi energi, low karbon," kata dia.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa untuk menghasilkan energi bersih memerlukan cost tambahan dan tidak semua golongan masyarakat mampu mengaksesnya. Sehingga, di sini peran pemerintah untuk hadir dan memberikan subsidi bagi masyarakat tidak mampu.

"Kalau kita bicara Eropa dan Amerika Serikat, mereka tidak pernah ribut masalah BBM karena daya beli cukup kuat. Ini beda dengan kita, makanya negara harus hadir," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.