Sukses

Pengamat Nilai Kisruh Sri Mulyani dan Pimpinan MPR Berdampak ke Kepercayaan Publik

Jokowi tak akan terlalu mempersoalkan pernyataan pimpinan MPR apalagi hingga melakukan pencopotan kepada Menkeu Sri Mulyani.

Liputan6.com, Jakarta - Masalah antara pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belakangan menjadi sorotan. Pengamat menilai hal itu bisa berdampak kepada tingkat kepercayaan publik kepada lembaga negara.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut konflik ini merupakan yang tak memiliki pengaruh terlalu besar. Namun, dampaknya bisa menciderai tingkat kepercayaan publik, khususnya kepada MPR.

“Ini hanya konflik antar lembaga, tapi itu berdampak kaitannya dengan persoalan public trust, dan MPR ini adalah representasi dari masyarakat tapi itu tidak akan berpengaruh banyak. Akan lebih gaduh persoalan UU Cipta Kerja karena banyak kebijakan yang harus dievaluasi ulang,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (2/12/2021).

Ia menyebutkan, masyarakat tak akan terlalu mempersoalkan kisruh ini. Dampak yang kemungkinan akan terjadi, kata dia, masyarakat kemungkinan menilai MPR menjadi arogan dengan tidak memahami kondisi Covid-19. “Rakyat ini akan melihat MPR bahwa MPR ini terkesan arogan,” katanya.

Sementara itu, terkait permintaan pimpinan MPR kepada Presiden Joko Widodo untuk mencopot Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan, Trubus menilai hal itu jadi hak prerogatif presiden. Ia menilai persoalan tak hadiri pertemuan dan refocusing anggaran tak bisa jadi alasan pencopotan jabatan menteri.

“Dalam konteks kebijakan publik itu kan tak bisa hanya ketidakhadiran dan refocusing anggaran jadi alasan pencopotan menteri, itu karena hak prerogatif presiden, karena sampai saat ini tak ada aturan mengenai hal itu,” tuturnya.

Ia pun menilai Jokowi tak akan terlalu mempersoalkan pernyataan pimpinan MPR tersebut apalagi hingga melakukan pencopotan.

“Yang jelas, kinerja Menkeu itu kan saat ini bagus, dalam menjaga kestabilan keuangan negara selama pandemi Covid-19,” kata dia.

Ia menilai kisruh ini disebabkan adanya miskoordinasi antar dua lembaga negara. Artinya, persoalan ini bisa diselesaikan dengan membangun kembali koordinasi antara lembaga dan kementerian terkait kedepannya.

“Kalau ini kasusnya akan selesai dalam arti kabinet kementerian koordinasi lagi, ini memang selama ini itu di (pemerintah) pusat antara kementerian dan lembaga itu kompetisi, jadi ego sektoral masih tinggi, dimana MPR merasa lebih tinggi dari Menkeu, padahal Menkeu ini pembantu presiden,” kata dia.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi Sugandi. Ia menilai yang disampaikan oleh pimpinan MPR sifatnya hanya rekomendasi dan tak bisa menjadi penentu pencopotan seorang menteri.

“Nah dalam kasus ini saya lihat sebetulnya ini masalah komunikasi aja ya, saya lihat juga Menkeu sudah melakukan klarifikasi,” kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengurangan Anggaran

Di sisi lain, Yogi menilai bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh pimpinan MPR itu sebatas emosi sesaat dan tak bisa dipersoalkan lebih lanjut. Ia juga turut menyinggung anggaran yang dipotong memang sudah seharusnya lebih dipentingkan kepada urusan penanganan Covid-19.

“Substansi dari pernyataan (pimpinan) MPR itu kan kenapa dikurangi anggaran untuk program sosialisasi empat pilar, memang ini diperlukan ditengah ideologi kita yang luntur, tapi itu bentuk metodenya bisa diganti,” katanya.

Sehingga dengan penggantian metode itu, ia sepakat bisa lebih mengefisienkan anggaran. Artinya, pelaksanaan sosialisasi empat pilar tak akan memakan terlalu banyak memakan anggaran.

“Ini tinggal komunikasi teknis dalam penyelenggaraan program sosialisasi empat pilar seperti apa, sebagai contoh, Menkominfo itu melaksanakan program literasi digital dan mengundang banyak orang menggunakan aplikasi online, itu efisiensi anggaran, tadinya narasumber harus hadir, harus menanggung akomodasi dan transportasi, tapi jadi lebih hemat (dengan metode online). Dan tidak mengurangi substansi apapun,” terangnya.

Ia menilai jika dalam konteks penggunaan anggaran, memang lebih baik keputusan yang diambil Menkeu Sri Mulyani dengan memfokuskan ke ranah penanganan Covid-19.

“Kalau masuk ke konteks anggarannya, urgensinya masalah covid dong, kalau diprioritaskan Covid-19 kalau dibandingkan dengan soal sosialisasi empat pilar, (karena) pemerintah wajib melindungi segenap warganya,” kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Sarat Kepentingan Politis

Sementara itu, lebih jauh Trubus menduga kalau pernyataan yang dilayangkan pimpinan MPR kepada Menkeu Sri Mulyani sarat kepentingan politis. Sehingga soal ini tak bisa jadi dasar untuk ditindaklanjuti oleh presiden.

“Itu hanya politis sifatnya tak bisa ditindak lanjuti (oleh presiden),” katanya.

Bahkan ia menduga hal ini ada kaitannya dengan kasus pengambilalihan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belakangan gencar dilakukan Sri Mulyani.

“Kalau sekarang minta itu belakangan kenapa lantang kan, pak Fadel itu ada (dugaan) kaitan dengan BLBI,” katanya.

Sehingga Trubus mengatakan bahwa pernyataan pimpinan MPR itu bisa disebut sebagai ‘serangan balik’ terhadap Sri Mulyani yang gencar mengejar aset-aset negara dari kasus BLBI.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.