Sukses

Rencana Konversi Pembangkit Listrik ke LNG Skala Kecil Habiskan Biaya Tinggi

Biaya untuk rantai pasok ssLNG mencapai 30-50 persen dari harga gas akhir.

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemanfaatan gas alam cair (liquefied natural gas) berskala kecil (ssLNG) diharapkan mampu menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Namun rencana konversi tersebut membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

Hal tersebut diungkapkan dalam laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), sebuah lembaga kajian terkait energi, tren, dan kebijakannya.

Umumnya, biaya yang dibutuhkan untuk rantai pasok LNG konvensional adalah 10-20 persen dari harga gas total. Namun, biaya untuk rantai pasok ssLNG mencapai 30-50 persen dari harga gas akhir.

Pertamina melalui anak perusahaannya, Perusahaan Gas Negara (PGN), ditugaskan oleh pemerintah untuk mengganti 52 pembangkit listrik milik PLN menjadi gas. Rencana tersebut sudah disusun sejak 10 tahun belakangan ini.  

PLN yang sebelumnya memiliki inisiatif terdepan dalam pembentukan rantai pasok ssLNG, memindahkan hampir seluruh risiko proyek kepada PGN.

Penulis laporan dan analis energi IEEFA, Putra Adhiguna memaparkan bahwa saat ini PGN sedang memiliki kondisi keuangan yang tidak mudah sebagai akibat pandemi COVID-19 dan pemberlakuan kebijakan harga gas.

“Margin distribusi diproyeksikan menyusut dari USD 2,2-2,5 menjadi USD 1,80-2,00/juta BTU (MMBTU),” kata Putra pada acara virtual peluncuran laporan IEEFA “Menilai Kelayakan Ekonomi LNG Skala Kecil untuk Pembangkit”, Kamis (26/8/2021).

Ia menambahkan, “Yang akan digantikan adalah diesel, yang harapannya jauh lebih mahal. Gap antara diesel dan gas itu naik dan turun seiring dengan harga minyak dan gas yang naik dan turun. Gap inilah yang mau tidak mau mungkin harus ditanggung PGN dan ini yang agak memberatkan,” lanjutnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Belum Ada Keseragaman

Kepala Divisi Monetisasi Minyak & Gas SKK Migas, Agus Budiyanto melihat belum ada keseragaman yang tercipta. Di mana, PLN yang menggunakan BBM sebagai bahan bakar pembangkit listrik membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sementara itu, pelaksanaan rencana konversi ini akan memiliki pembatasan harga.

PGN yang juga dimiliki oleh publik sebesar 43 persen setidaknya harus mendapatkan keuntungan dalam setiap kegiatan bisnisnya. Penugasan yang diberikan kembali oleh Pertamina kepada PGN dapat menggerus keuntungan PGN.

Dengan demikian, Agus berpendapat agar pemerintah dapat menghitung kembali terkait harga gas dengan saksama, termasuk mempertimbangkan transportasi yang akan membawa gas tersebut.

“Secara sumber kita udah ada, tinggal bagaimana kita menghitung keekonomiannya itu. Jangan harganya dipatokin dulu. Biarlah harganya disesuaikan dengan kondisi market. Kalau kebijakannya udah dipenuhi, tinggal pilihannya ingin menggunakan teknologi apa, fasilitasnya itu bagaimana, juga letaknya di mana,” kata Agus.

PGN telah menyatakan kesiapannya untuk menjalankan proyek ini. Akan tetapi, perusahaan tersebut belum menginformasikan lebih lanjut terkait rencana investasi yang akan dilakukan.

Diketahui PGN masih memiliki utang sebesar USD 2 miliar (Rp 28,8 triliun) yang akan jatuh tempo pada 2024. Penting bagi PGN untuk mempertimbangkan kembali kondisi keuangannya.

Reporter: Shania

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini