Sukses

Amankah Berinvestasi di Masa New Normal? Simak Penjelasannya

Kondisi investasi global sudah membaik, maka masyarakat bisa mulai berinvestasi kembali.

Liputan6.com, Jakarta - Staf khusus Kementerian Keuangan Masyita Crystallin, mengatakan kondisi investasi global sudah membaik, maka masyarakat bisa mulai berinvestasi kembali.

“Kita semua ketahui tahun ini kita menghadapi kondisi ekonomi yang sangat tidak mudah di awal Januari itu kalau kita ingat kondisi investasi global itu masih sangat optimis, Capital flow masuk ke negara-negara berkembang itu juga masih masif termasuk ke Indonesia,” kata Masyita dalam diskusi virtual Investasi di masa pandemi, Selasa (13/10/2020).

Menurutnya bahkan saat itu rupiah termasuk salah satu mata uang yang terapresiasi cukup tinggi di periode tersebut, padahal kalau diingat-ingat covid-19 itu pertama kali di Wuhan sudah dimulai sejak Desember tapi Januari-Februari kondisi investasi atau capital flow di level global itu masih sangat optimis.

Kemudian kondisi tersebut berbalik di pertengahan Maret, saham dan obligasi semua mengalami tekanan yang cukup hebat, karena kebanyakan orang menjual aset-aset finansialnya pada saat itu. Akan tetapi tidak lama berselang setelah itu, kondisi financial market sebenarnya di level global itu sudah membaik.

“Kalau kita melihat kondisi ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain misalnya kita bandingkan dengan negara tetangga sebagai contoh di Kuartal kedua kita mengalami kontraksi ekonomi 5,3 persen, di Malaysia 17 persen, di Filipina 16,5 persen, India 23 persen,” jelasnya.

Artinya secara relatif pertumbuhan ekonomi atau kontraksi ekonomi di Indonesia itu memang secara relatif tidak sedalam negara-negara tersebut, boleh dikatakan demikian karena bagaimanapun Indonesia masih memiliki support populasi yang cukup banyak dan berusia muda.

Kendati begitu, tetap ada risiko karena bagaimanapun pemulihan ekonomi itu akan sangat tergantung kepada kondisi Pandemi itu sendiri. kata Masyita ada yang  mengatakan bahwa ekonomi dunia itu bisa V shape recovery, atau U shape atau  W shape (naik turun).

“Nah tentu dalam hal ini penanganan pandemi akan menjadi sangat krusial dalam melihat penanganan pemulihan ekonomi Indonesia, kalau kita melihat dari sisi finansial misalnya yield obligasi negara dan juga mata uang Rupiah di Indonesia itu sudah kembali seperti sebelum Maret 'Fresh Global financial market',” katanya.

Artinya Global investor cukup percaya terhadap Indonesia bahwa Indonesia bisa memanage perekonomian dengan prudent, bagaimanapun semua negara mengalami tekanan, mereka harus meningkatkan pengeluaran baik untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan sebagainya dalam rangka penanganan pandemi.

“Akan tetapi disisi lain seluruh negara juga mengalami tekanan terhadap Sisi penerimaan negara,” pungkasnya.   

 

**Ingat #PesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dongkrak Ekonomi, Lebih Penting Konsumsi atau Investasi?

Pemerintah terus berupaya menggenjot realisasi investasi untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Salah satunya melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.

Namun, Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai bahwa pelemahan ekonomi nasional lebih diakibatkan oleh lesuhnya faktor konsumsi akibat turunnya permintaan. Sehingga dia menilai mendorong pemulihan tingkat konsumsi jauh lebih penting ketimbang investasi.

"Saya mencoba melihat mana dulu konsumsi dulu atau investasi dulu. Kalau invesment yang di dorong makan konsumsi akan naik. Tetapi kalau konsumsi di dorong invesment naik lebih powerful. Jadi, konsumsinya yang di dorong," ujar dia dalam acara Bincang APBN 2021 bertajuk Percepat Pemulihan, Perkuat Reformasi Ekonomi, Selasa (13/10/2020).

Menurut mantan Menteri Keuangan Era SBY tersebut, saat ini sebaiknya pemerintah lebih fokus terlebih dulu untuk mengembalikan tingkat konsumsi masyarakat. Sehingga akan berdampak baik untuk peningkatan aktivitas produksi.

Sebaliknya, dia menilai jika pemerintah terlalu ambisius untuk mendatangkan investasi dalam negeri namun tingkat konsumsi masih rendah. Maka dikhawatirkan durasi proses pemulihan ekonomi justru bertambah lama atau tidak seperti yang diinginkan pemerintah.

"Misalnya, saya produksi kemudian akan cuman jadi stok. Sementara stok itu cost. Jadi saya ngga mau nambah produksi kalau permintaannya ngga ada," jelas dia.

3 dari 3 halaman

Revisi Target Investasi

Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak menutup kemungkinan akan ada revisi target realisasi investasi di 2021. Di mana target dipatok BKPM di tahun depan sendiri nilainya mencapai Rp886 triliun.

"Target realisasi investasi 2021, Rp886 triliun, namun kami akan melakukan pembahasan kajian dengan melihat animo calon investasi kalau tambah baik maka bisa kemungkinan kita tingkatkan," kata Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (9/10).

Menurutnya, Pemerintah memang berharap lebih banyak investasi masuk demi menciptakan lapangan kerja. Bukan hanya investasi yang berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA) tetapi juga Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

"Bagi kami, semakin banyak realisasi investasi PMA dan PMDN semakin baik, untuk bagaimana menciptakan lapangan kerja. Semakin banyak investasi masuk, maka semakin banyak penciptaan lapangan kerja," jelas dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.