Sukses

Praktik Monopoli Matikan Industri Pelumas Skala Kecil

Munculnya praktik monopoli dinilai hanya akan merugikan konsumen serta perekonomian nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Isu Monopoli pelumas kendaraan (oli), akhir-akhir tengah memanas dengan adanya dugaan praktik monopoli yang dilakukan oleh salah satu Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) di Tanah Air. Dugaan kasus monopoli tersebut pun saat ini telah dibawa ke ranah persidangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Menaggapi hal tersebut, Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) Paul Toar mengatakan, dengan munculnya praktik monopoli pada akhirnya hanya akan merugikan konsumen serta perekonomian nasional. Bahkan bisa mematikan para pengusaha-pengusaha kecil yang bergerak di sektor pelumas (Oli).

"Seperti yang kita tahu saat ini bahwasanya di dalam dunia pelumas itu kebanyakan para pemain dari perusahaan kecil, oleh sebab itu kesehatan bisnis di sektor pelumas akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan perekonomian indonesia," kata di Jakarta, Jumat (4/9/2020).

Paul juga menyebut, keraguan menggunakan pelumas merek lain terjadi karena adanya faktor monopoli. Padahal, kualitas pelumas yang beredar sudah sesuai ketentuan pemerintah.

“Sekali lagi, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat. Terlebih adanya power of monopoly dari agen pemegang merek dengan modus jika menggunakan olinya, maka garansi atas kendaraan tidak akan gugur dan sebagainya,” jelasnya.

Dia menegaskan, bahwa keterlibatan masyarakat untuk mengawal proses persidangan KPPU sangatlah penting. Hal ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Sedangkan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat tersebut akan sangat mereduksi hak-hak dasar konsumen yang dijamin di dalam UUPK, yaitu konsumen tidak ada pilihan produk yang variatif, yang mengakibatkan konsumen tidak bisa memilih suatu produk, barang dan jasa.

Padahal di dalam Pasal 4 UUPK, tambahnya, dimandatkan bahwa salah satu hak dasar konsumen adalah hak untuk memilih (Right to choose) dikarenakan tidak adanya hak untuk memilih akan berdampak pada dimensi kualitas produk dan atau ongkos kemahalan suatu produk.

"Sehingga ending dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, adalah kerugian konsumen. Jadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, selain akan mematikan pelaku usaha lain, juga akan 'mematikan' hak-hak konsumen," tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sidang Kasus Dugaan Monopoli Pelumas Berlanjut, Ini Tanggapan PERDIPPI

Sebelumnya, Kasus dugaan tindak monopoli pelumas yang melibatkan PT Astra Honda Motor (AHM) akan masuk proses persidangan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 

Dinilai merugikan konsumen serta perekonomian nasional, Perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) turut menyoroti kasus ini.

Ketua Dewan Penasehat PERDIPPI, Paul Toar, menegaskan, keterlibatan masyarakat untuk mengawal proses persidangan sangatlah penting. Hal ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

“Karena praktik-praktik yang dilakukan oleh agen pemegang merek kendaraan seperti itu telah membentuk mindset masyarakat kalau kendaraannya merek A, maka oli yang harus dipakai adalah merek A, jika kendaraannya merek B, olinya harus merek B. Jika tidak, maka garansi akan hilang,” kata Paul.

Paul juga menyebut, keraguan menggunakan pelumas merek lain terjadi karena adanya faktor monopoli. Padahal, kualitas pelumas yang beredar sudah sesuai ketentuan.

“Sekali lagi, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat. Terlebih adanya power of monopoly dari agen pemegang merek dengan modus jika menggunakan olinya, maka garansi atas kendaraan tidak akan gugur dan sebagainya,” jelasnya.

Proses persidangan perdana yang semestinya digelar 30 Juli diundur dan akan digelar Selasa, 11 Agustus 2020. Hal ini sesuai dengan permintaan kuasa hukum PT Astra Honda Motor (AHM) selaku pihak terlapor.

"Kami mengajak semua lapisan masyarakat di manapun berada, mari kita awasi dan kawal proses persidangan ini. Sehingga, proses bisa berlangsung secara obyektif, transparan, dan ketentuan Undang-undang serta aturan hukum,” kata dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.