Sukses

Pemerintah Cari Cara Agar Indonesia Tak Dibanjiri Produk Tekstil China

Permasalahan utama industri tekstil saat ini adalah gempuran produk impor.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia hari ini megadakan rapat tertutup dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Agenda rapat tersebut membahas kendala industri [tekstil](https://www.liputan6.com/bisnis/read/4099128/fokus-safeguard-tekstil-jangan-di-hulu-dan-hilir-tapi-di-tengah?source=search "") di tanah air. 

Bahlil mengungkapkan, permasalahan utama industri tekstil saat ini adalah gempuran produk impor. Hal itu membuat produk dalam negeri kalah di pasaran.

"Kita tahu akhir-akhir ini banyak produk dari luar Indonesia yang melakukan penetrasi yang sangat luar biasa sekali sampai kemudian kalau cek di pasar-pasar maupun di Tanah Abang itu sudah susah kita mendapatkan made in Indonesia, made in negara lain saja, kira-kira begitu," kata dia, di kantornya, Jakarta, Rabu (11/12).

 

Kendati demikian dia mengaku belum memperoleh data angka pasti impor tekstil ke Indonesia. Namun dipastikan impor tekstil sudah sangat deras dan bukan menjadi sebuah hal yang rahasia lagi.

"Bukan rahasia umum lagi kan garmen kita kan banyak impor dari negara lain terutama dari China kan,” ujarnya.

Bahlila berharap ke depannya produk dalam negeri yang akan menguasai pasar. “Nah kita harapkan ke depan gimana kita pelihara market kita untuk disuplai dari produk-produk dalam negeri," tambahnya.

Hal itu, kata dia, dapat terwujud dengan koordinasi antara pengusaha dan pemerintah. Salah satunya dengan regulasi yang selaras.

"Memang itu bukan hanya kerja pengusaha. harus ada sinergi antara pengusaha dan pemerintah. Regulasi yang harus kita kasih ke mereka jangan memberatkan. Ketika regulasi memberatkan pengusaha maka mereka tidak akan kompetitif dengan produk-produk impor," ujarnya.

Dengan adanya komunikasi yang baik, Bahlil berharap regulasi yang ada akan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemerintah dan pengusaha tekstil.

"Nah harapan kita ke depan adalah ini sinergi yang kemudian melahirkan keputusan yang win-win, menguntungkan pengusaha dan negara," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebutan Sunset pada Industri Tekstil Nasional Rugikan Pengusaha

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengaku heran dengan narasi yang menyebut jika tekstil sudah masuk kategori industri sunset (meredup). Pandangan demikian dinilai merugikan industri tekstil karena membuat pemerintah dan investor jadi ikutan enggan memperkuat tekstil.

Menurut dia, sebutan jika industri tekstil sudah redup karena ekonom melihat industri tekstil di negara maju. Padahal, industri tekstil di negara seperti Jepang masih hidup, namun mereka membuka pabriknya di luar negeri.

Selain itu, terbukti bahwa negara-negara lain mulai menggenjot tekstil mereka bahkan mulai mengalahkan Indonesia.

"Vietnam itu sunshine. Bangladesh sunrise. China enjoy. Kita kemakan oleh definisi kita," ujar Suharno di diskusi tekstil INDEF, Rabu (30/10/2019) di Jakarta.

"Ini menjadikan investor-investor asing enggan masuk ke sini. Itu sangat berpengaruh sekali," ujarnya.

Tercatat, per tahun 2018 ekspor tekstil dan apparel Vietnam dan Bangladesh jauh mengalahkan Indonesia. Ekspor Indonesia hanya USD 13,2 miliar, sementara Vietnam mencapai USD 39,8 miliar dan Bangladesh USD 67,1 miliar.

Suharno juga berharap pemerintah tidak mengabaikan institusi pendidikan tinggi tekstil. Pasalnya, jumlah pendidikan tinggi tekstil di Indonesia masih kalah banyak dibanding negara-negara lain. Inovasi tekstil di negara lain juga semakin terus maju.

"Amerika saja perguruan tingginya masih ada 100 lebih. Nanti kan tidak hanya baju biasa, ada baju anti peluru, anti radiasi segala macam, sekarang orang renang saja pakai baju enggak tenggelam," tegas Suharno.

Ia pun berharap ada rebranding industri tekstil agar tidak lagi disebut industri sunset, melainkan industri potensial yang punya potensi besar bagi perekonomian negara.

Saran lain yang Suharno sebut untuk memperbaiki industri tekstil adalah restrukturisasi demi menghadapi revolusi industri 4.0, klasterisasi industri agar mendukung green industry dan efisiensi logistik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.