Sukses

Menko Luhut: Utang Kita Paling Rendah tapi Masih Digebuki

Rasio utang yang dimiliki Indonesia saat ini adalah 30 persen terhadap PDB.

Liputan6.com, Jakarta - Utang yang dimiliki pemerintah Indonesia kerap menjadi sorotan publik. Utang yang saat ini melilit pemerintah Indonesia dinilai terlalu tinggi dan terus bertambah nilainya.

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat hingga Februari 2019 tembus Rp 4.566 triliun. Angka tersebut naik dibanding posisi utang pada posisi Januari 2019 yang mencapai Rp 4.489 triliun, juga lebih tinggi dibanding posisi Februari 2018 sebesar Rp 4.034 triliun.

Kendati demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menegaskan rasio utang Indonesia masih jauh lebih rendang dibanding negara lain. Rasio utang tersebut dilihat dari perbandingannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"(Rasio utang) Kita di bawah 30 persen kan," kata Menko Luhut di Gedung Telkom Hub, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Rasio utang yang dimiliki Indonesia saat ini adalah 30 persen terhadap PDB. Jauh lebih kecil dibanding rasio utang di akhir pemerintahan Presiden Soeharto yang mencapai 85,4 persen terhadap PDB.

Selain itu, dia menegaskan bahwa utang yang dimiliki Indonesia digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif. "Utang kita tuh paling rendah. Utang kalau bener, proyek produktif ya ndak ada masalah. Saya d WEF (World Economic Forum) ditanya kenapa utang segitu? segitu aja digebuki," ujarnya.

Luhut juga menyebutkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mencerminkan kondisi yang baik. Sehingga utang tidak menjadi masalah. "(Pertumbuhan ekonomi) kita mau tumbuh di atas 6 persen," ucapnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Utang Pemerintah Naik Capai Rp 4.566 Triliun di Februari 2019

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat hingga Februari 2019 tembus Rp 4.566 triliun. Angka tersebut naik dibanding posisi utang pada posisi Januari 2019 yang mencapai Rp 4.489 triliun, juga lebih tinggi dibanding posisi Februari 2018 sebesar Rp 4.034 triliun.

Mengutip data APBN Kita, total utang pemerintah pusat tersebut terdiri dari pinjaman, baik pinjaman bilateral, multilateral, komersial, sampai pinjaman dalam negeri dengan total Rp 790,47 triliun.

Sementara itu, outstanding Surat Berharga Negara mencapai Rp 3.775 triliun. Secara keseluruhan, posisi utang hingga saat ini mencapai 30,33 persen terhadap PDB.

"Denominasi Rupiah sebesar Rp 2.723,13 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.260 triliun, surat berharga syariah negara Rp 462,95 triliun. Denominasi valas Rp 1.052,66 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 817,82 triliun dan Surat berharga syariah negara Rp 234,84 triliun," demikian dikutip APBN Kita edisi Maret, Selasa (19/3/2019).

Dalam mengelola utang yang akuntabel, pemerintah benar-benar memperhitungkan bahwa setiap utang yang dilakukan Pemerintah harus dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya agar tidak menimbulkan kerugian lebih besar lagi di masa depan.

"Pemerintah berkomitmen untuk melunasi kewajibannya kepada kreditor maupun investor dalam menjaga kepercayaan mereka dengan menganggarkannya dalam APBN 2019 yang telah disetujui wakil rakyat."

3 dari 3 halaman

Mengintip Utang Pemerintah dari Era Soeharto hingga Jokowi

Menteri Keuangan Sri Mulyani angkat bicara soal utang pemerintah yang menyentuh Rp 4.418,3 triliun di tahun 2018. Menurutnya, rasio utang masih aman selama tidak sampai ke 60 persen PDB (Produk Domestik Bruto).

"Indonesia dengan GDP ratio 30 persen dan dengan defisit yang makin mengecil tentu kita ingin menyampaikan bahwa kita mengelola APBN, keuangan negara dan utang kita secara sangat hati-hati," kata dia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (23/1/2019). 

Dalam masalah rasio, utang Indonesia juga terus menanjak sejak 2009, walau masih konsisten di bawah 30 persen. Lebih lengkapnya, berikut daftar utang pada akhir setiap pemerintahan, terhitung sejak 1998 ketika Soeharto lengser.

Era Soeharto: Rp 551,4 triliun (USD 68,7 miliar), setara 57,7 persen PDB.

Era BJ Habibie: USD 938,8 triliun (USD 132,2 miliar), setara 85,4 persen PDB.

Era Gus Dur: USD 1.271,4 triliun (USD 129,3 miliar), setara 77,2 persen PDB.

Era Megawati Soekarnoputri: Rp 1.298 triliun (USD 139,7 miliar), setara 56,5 persen.

Era Susilo Bambang Yudhoyono: Rp 2.608,8 triliun (USD 209,7 miliar), setara 24,7 persen.

Era Joko Widodo (saat ini): Rp 4.418,3 triliun (USD 312 miliar), setara 30 persen.

Pada daftar di atas, terlihat utang tertinggi adalah 85,4 persen, kemudian rasionya terus menurun sejak era Gus Dur, walau angkanya terus meningkat sampai saat ini.

Mengenai utang, Sri Mulyani menyebut utang bukanlah sesuatu yang kotor, apalagi dana dari instrumen utang digunakan sebagai anggaran pembangunan, seperti universitas.

"Utang itu bukan sesuatu yang najis," ujarnya pada acara rapat kerja nasional Kementerian Agama (Kemenag) RI.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.