Sukses

Kemenkeu Angkat Bicara Soal Utang Ribuan Triliun Rupiah

Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak agar penerimaan perpajakan meningkat.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli ‎meminta pemerintah untuk berhati-hati mengelola utang. Lantaran dengan posisi yang sudah tembus Rp 4.034 triliun, menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mulai membenahi utang tersebut.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti pun menanggapi pernyataan dari ekonom senior tersebut. Menurutnya, utang Indonesia sangat aman. Hal tersebut dipastikan dengan adanya pemeringkatan dari lembaga pemeringkat dunia seperti Moodys, Fitch, S&P, JCRA dan Rating & Investment yang menyatakan bahwa Indonesia telah masih dalam kategori investment grade.

Pemeringkatan tersebut menggunakan standar perbandingan antar negara-negara di dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB dan defisit APBN yang relatif kecil dan hati-hati. "Mengapa menolak menggunakan indikator yang digunakan untuk membandingkan antara negara?" jelas Nufransa, Senin (9/4/2018).

Rizal Ramli juga menyebut bahwa pemerintah menggunakan metode gali lubang tutup jurang, hal tersebut juga langsung dibantah. 

Pemerintah justru terus melakukan penurunan defisit APBN dan primary balance. Sejak tahun 2012, pemerintah sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Nufransa pun menjabarkan dalam 5 tahun terakhir, tahun 2013 Rp -98,6 triliun, 2014 Rp -93,3 triliun , tahun 2015 Rp -142,5 triliun, 2016 Rp -125,6 triliun, tahun 2017 Rp -121,5 triliun. 

Sejak pertengahan 2016, Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai mengendalikan arah negatif tersebut secara hati-hari agar tidak mengganggu pemulihan ekonomi.

Dengan demikian dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan defisit akan makin mengecil dan primary balance akan makin seimbang atau bahkan mencapai surplus. 

Selain itu, yield surat utang pemerintah pada 2016-2017 justru menurun sewaktu US Fed Rate meningkat tiga kali.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Debt to Service Ratio

Selanjutnya mengenai Debt to Service Ratio (DSR) yang merupakan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara. Dalam lima tahun terakhir juga terjaga. 

Debt Service Ratio tahun 2013 19. persen, tahun 2014 sebesar 23,9 persen , tahun 2015 sebesar 25,3 persen, tahun 2016 32,5 persen dan tahun 2017 sebesar 34,2  persen.

Peningkatan DSR bukan karena biaya bunga yang tinggi , tapi lebih kepada cicilan pokok utang jatuh tempo yang agak besar pada 2018.

"Pemerintah berupaya menurunkan beban bunga utang dengan mengembangkan instrumen utang jangka pendek dalam negeri - untuk mengurangi resiko potensi meningkatnya suku bunga global karena normalisasi oleh The Fed," jelas Nufransa.

Langkah itupun dilakukan dengan hati-hati dengan menjaga rata-rata jatuh tempo utang agar tidak menurun secara drastis. 

Sedangkan mengenai Tax Ratio. Tax Ratio tahun 2013 : 11,3  persen , tahun 2014 : 10,9 persen , tahun 2015 sebesar 10,7 persen, tahun 2016 sejumlah 10,4 persen dan tahun 2017: 10 persen.

Tax Ratio adalah perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto. Memang agak kecil bila dibandingkan negara lain, namun tax ratio tersebut belum memperhitungkan pajak daerah serta jaminan sosial seperti di negara lain.

Pemerintah juga terus berusaha untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak agar penerimaan perpajakan meningkat. Usaha itu antara lain dengan menerapkan aturan Automatic Exchange of Information (AEOI), peningkatan kerja sama internasional di bidang perpajakan serta pertukaran data dengan berbagai kementerian/lembaga negara.

Semua data dan fakta di atas menunjukkan bahwa pemerintah secara bersama kerja sama dalam tim yang terus diperkuat dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla senantiasa menjaga perekonomian dan memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan terus menjaga stabilitas untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan bermartabat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

3 dari 3 halaman

Pernyataan Rizal Ramli

Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli ‎meminta pemerintah untuk berhati-hati mengelola utang. Lantaran dengan posisi yang sudah tembus Rp 4.034 triliun, menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mulai membenahi utang tersebut.

Rizal mengungkapkan, indikator jika masalah utang ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah yaitu soal keseimbangan primer (primary balance) yang negatif. Artinya, sebagian bunga utang dibayar bukan dari pendapatan, melainkan utang baru. 

Dia menjelaskan, Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga turut berkontribusi pada kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia. DSR Indonesia kini sudah menyentuh 39 persen, sedangkan rasio pajak (tax ratio) baru sebesar 10,4 persen, lebih rendah dari sejumlah negara di ASEAN. 

"Tax ratio hanya 10 persen, karena pengelolaan fiskal tidak prudent," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (6/4/2018).

Indikator lainnya, lanjut dia, yaitu trade account, service account, dan current account yang juga menunjukkan indikator negatif. Serta masalah suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed Fund Rate yang membuat nilai tukar rupiah terus tertekan. ‎

"Itulah salah alasan utama kenapa kurs rupiah terus anjlok," lanjut dia.

Oleh sebab itu, menurut Rizal Ramli, masalah utang pemerintah ini sudah tidak bisa lagi dikesampingkan. Pemerintah harus segera mencari cara untuk bisa menekan lonjakan utang tersebut. "Itu sudah lampu kuning. Sudah gali lubang tutup jurang," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.