Sukses

Musim Hujan, Harga Cabai Makin Pedas

Harga cabai dan bawang terus merangkak naik di minggu kedua bulan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Harga cabai dan bawang terpantau naik pada minggu kedua Maret ini. Kenaikannya berkisar antara Rp 5 ribu sampai dengan Rp 25 ribu per kilogram (kg). 

Berdasarkan pantauan Liputan6.com di Pasar Pondok Gede, Bekasi (9/3/2018), pedagang sayur, Wahyu (50) mengatakan cabai termasuk komoditas pangan yang sedang mengalami kenaikan signifikan. Cabai rawit merah saat ini dijual seharga Rp 65 ribu  per kg dari sebelumnya Rp 40 ribu pada minggu lalu. Artinya naik sekitar Rp 25 ribu per kg. 

"Cabai rawit merah sekarang Rp 65 ribu per kg, kemarin Rp 40 ribu per kg. Kalau cabai keriting besar Rp 55 ribu per kg, awalnya 30 ribu per kg," kata Wahyu saat berbincang dengan Liputan6.com. 

Bawang merah dan bawang putih kating ikut merangkak naik. Harga jual bawang merah naik sebesar Rp 14 ribu per kg dari Rp 20 ribu per kg, kini menjadi 34 ribu per kg. Sedangkan bawang putih kating kini 42 ribu per kg atau naik Rp 5 ribu dibanding minggu lalu.

"Bawang merah sekarang Rp 34 ribu per kg, dari semula Rp 20 ribu per kg. Kalau bawang merah sekarang Rp 42 ribu per kg, naik Rp 5 ribu hari ini," ujarnya. 

Menurut Wahyu, kenaikan harga cabai dan bawang itu lebih dipengaruhi faktor musim.

"Enggak tahu ya, dari pasar Induk Kramat Jati sudah naik. Hujan juga kan," tuturnya. 

Sementara itu, pedagang sayur lain, Malinda (55) menyebut meski harga cabai dan bawang naik, namun untuk sayuran lain terpantau stabil harganya.

"Harga cabai sama bawang memang selalu naik setiap minggu. Kecuali sayuran, stabil atau justru turun," tuturnya.

Malinda menjual cabai rawit merah seharga Rp 70 ribu per kg dan harga cabai keriting besar Rp 60 ribu per kg. Kedunya mengalami kenaikan sebesar Rp 20 ribu per kg.

Sementara itu, Malinda menjual tomat Rp 8 ribu per kg, kentang Rp 14 ribu per kg, timun Rp 7 ribu per kg, dan sayur sawi Rp 8 ribu per kg. "Harganya stabil," pungkasnya. 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Data Produksi Beras Tak Jelas Pengaruhi Tata Kelola Pangan

Keakuratan data produksi beras nasional masih menjadi pertanyaan seiring melonjaknya harga beras di awal tahun ini hingga saat ini. Pernyataan swasembada dinilai bertolak belakang dengan kenyataan, terjadinya lonjakan harga beras yang membuat ketidakjelasan tentang kondisi pasokan pangan.

Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, mengatakan klaim adanya surplus beras sebanyak 17,6 juta pada akhir 2017 membuat pemerintah kurang waspada.

“Karena datanya kacau balau, tidak akurat, yang menyebabkan tatakelola pangan kita menjadi kacau pula,” ujar dia, Senin Senin (5/2/2018).

Dia pun mempertanyakan data produksi beras pemerintah. Sebab apa yang tertera dalam data, sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Saat ini hanya Kementerian Pertanian yang menerbitkan data terkait produksi pertanian. Ini setelah di awal 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) memutuskan tak lagi mengeluarkan data terkait produksi produk-produk pertanian.

Dwi kembali mengingatkan pada pengalaman di 2015, ketika data menyebutkan ada surplus beras sebesar 10 juta ton, namun kenyataannya stok beras di pasaran langka.

Dwi Andreas menjelaskan, sejatinya bukan hanya BPS yang terlibat dalam mengambilan data terkait produksi ini. Ada dua variabel besar yang membentuknya, yakni terkait luasan lahan dan produktivitas.

Untuk luasan lahan, Kementerian Pertanian yang memiliki kuasa penuh menentukannya berdasarkan perkiraan. Sementara itu, untuk produktivitas, ada 22 ribu tenaga yang dikerahkan untuk mengeceknya. Jumlahnya sama rata antara Kementerian Pertanian dengan BPS.

“Jadi yang memperoleh data untuk produksi itu 75 persen itu Kementan, 25 persen BPS dari mantri statistik. Kemudian kedua data tersebut, data luas panen dan produktivitas, digabung menjadi satu menjadi data nasional yang merupakan data produksi padi,” tutur ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.

Sementara Direktur Utama Bulog, Djarot Kusumayakti mengungkapkan, stok Bulog memang sudah terlihat mulai menurun sejak Desember 2017. Hingga saat ini, posisinya terus menurun dan hanya berada di angka 700 ribu ton per 4 Februari 2017.

“Kami sudah melaporkan kepada kementerian-kementerian terkait sejak November kemarin soal stok beras ini. Ke Kemenko Pererekonomian, ke Kementerian Pertanian, juga ke Kementerian Perdagangan” tutur Djarot.

Senada, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo menyatakan, ketesediaan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat terus mengalami penurunan.

Posisi stok Minggu (4/2/2018), berada pada angka 22.707 ton perhari, seperti dilansir Antara. Padahal, dalam kondisi normal rata-rata stok beras berkisar pada 25.000-30.000 ton per hari.

Kondisi penurunan stok inilah yang menjadi alasan Kementerian Perdagangan memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand pada akhir Januari. Keputusan ini diambil sebagai upaya menutupi kebutuhan konsumsi sekitar 2,4 hingga 2,5 juta ton per bulan.

  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini