Sukses

Pelaku Usaha Peternakan Tuntut Ini ke Pemerintah

Pungutan pajak untuk seluruh ternak berdampak besar terhadap produsen dan konsumen.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah merevisi aturan mengenai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk seluruh ternak, kecuali sapi indukan.

Lantaran pungutan pajak tersebut akan berdampak besar terhadap produsen, konsumen hingga melemahkan daya saing industri peternakan nasional.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe mengungkapkan, pemerintah dan pengusaha menggelar rapat koordinasi PMK 267 Tahun 2015 tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Ternak, Bahan Pakan Untuk Pembuatan Pakan Ternak dan Pakan Ikan Yang Atas Impor Dan/Atau Penyerahannya Dibebaskan Dari Pengenaan PPN.

Aturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN.

 

Rapat koordinasi ini dihadiri pihak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pengusaha termasuk importir dan peternak lokal. Rapat berlangsung di kantor Kemenko Bidang Perekonomian untuk dibawa dalam rakor pangan tingkat Menteri yang dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution pada pukul 14.00 WIB ini.  

"Tadi kita evaluasi lagi PMK-nya. Kita mau melindungi peternakan lokal, tapi bukan dengan PPN karena instrumen pajak itu justru menambah biaya," tegas Juan saat ditemui usai Rakor di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (22/1/2016).

Ia menjelaskan, pemerintah berencana mengenakan pajak hanya untuk ternak atau hasil pakan ternak impor. Namun faktanya tidak semudah itu karena pungutan pajak juga menyasar pada transaksi ternak di dalam negeri, sehingga dampaknya membebani konsumen di tingkat akhir.

"Ada PPN masukan dan keluaran. Ini yang kadang di salah mengerti. Harga jual kita tidak berubah, tapi PPN yang bikin nambah, sehingga harga mahal di luar bukan karena kita yang naikin harga tapi ada PPN di dalamnya," jelas Juan.

Ia menyoroti bahasa atau substansi dari PMK 267 Tahun 2015, yang menyebutkan PPN 10 persen yang dipungut tidak boleh dikreditkan. Itu artinya jika proses dari sapi menjadi daging, dan diproduksi lagi menjadi bakso, maka perusahaan pengolahan daging otomatis dikenakan dobel PPN.

"Ini yang jadi persoalan, karena dalam menetapkan PMK, pengusaha tidak diajak berdiskusi. PPN bukan menambah daya saing, tapi justru melemahkan daya saing," ujar dia.

Juan menuturkan, Kementerian Pertanian sebenarnya meminta kepada Kementerian Keuangan untuk membebaskan bea masuk sapi indukan atau sapi betina produktif, bukan PPN. Tujuannya apabila Bea Masuk dinolkan, maka penjualan sapi jenis ini akan meningkat.

"Kementan itu inginnya dibebaskan Bea Masuk untuk sapi betina produktif. Tapi dengan alasan tertentu kenapa larinya ke (bebas) PPN, jadi miss interpretasi antara keinginan dan eksekusinya. Untuk ternak lainnya kena PPN 10 persen, otomatis turunannya juga kena," kata Juan.

Juan mengusulkan pemerintah untuk mengubah PMK 267 Tahun 2015 dengan pemisahan khusus. Pasalnya, pelaku usaha di bidang usaha peternakan dan pengolahan ternak termasuk ayam mengeluhkan PMK tersebut.

"Dipisahkan kalau memang khusus sapi betina bunting Bea Masuk dibebaskan, tapi bukan berarti seluruh jenis ternak kena PPN. Karena pelaku usaha bidang usaha ayam bilang lebih baik impor pakan atau bahan baku dalam bentuk daging dari negara ASEAN daripada beli atau produksi di dalam negeri kena PPN," tandas Juan. (Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini