Sukses

Obat Mahal Akibat Permainan Bisnis, Ini Kata Bos Kimia Farma

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mencurigai adanya praktik usaha yang tidak sehat di industri farmasi.

Liputan6.com, Jakarta - PT Kimia Farma Tbk (KAEF) angkat bicara terhadap dugaan permainan di bisnis farmasi sehingga menyebabkan harga obat sangat mahal. Hal tersebut menyusul penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mencurigai adanya praktik usaha yang tidak sehat di industri farmasi.

Direktur Utama Kimia Farma, Rusdi Rosman tidak membantah adanya praktik permainan di industri farmasi, khususnya perusahaan-perusahaan obat berskala besar yang menjual obat-obat bermerek. Jenis obat ada dua, yakni obat generik berlogo (OGB) dan obat bermerek (branded).  

"Saya tidak tahu, coba saja tanya perusahaan farmasi besar yang jualan obat branded. Kalau kami kan mainnya di obat generik," ucap Rusdi saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (27/12/2015).

Katanya, perseroan menjual langsung obat generik kepada pemerintah melalui tender katalog elektronik (e-catalog). Sehingga diyakini Rusdi jauh dari permainan kotor karena prosesnya dilakukan secara terbuka.


"Kami kan tender pakai katalog jadi tidak ada yang bermain. Wong marjinnya saja kecil kok sekitar 5 persen. Orang semua juga sudah tahu Kimia Farma," jelas Rusdi.

Sebelumnya, Komisioner KPPU Sukarni menduga, ada beberapa faktor yang menyebabkan obat paten dan generik bermerek relatif mahal. Pertama, karena dugaan karena adanya interaksi antara industri farmasi dan dokter.

"Sedangkan dari sisi aturan sudah tidak diperbolehkan, beberapa hari lalu untuk DPR meminta kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk melarang dokternya membuat transaksi dengan farmasi," ujarnya.

Kemudian, adanya dugaan penggabungan usaha (merger) yang membuat industri obat tersebut menjadi dominan. Alhasil, industri tersebut bisa menjadi penentu harga. "Merger dan akuisisi farmasi menyebabkan posisi dominan beberapa pelaku," kata Sukarni.

Dugaan lain adalah adanya penetapan harga jual lagi. Sukarni mengatakan, harga eceran tertinggi (HET) yang sudah diatur ialah untuk obat generik. Sebaliknya, untuk generik bermerek dan paten masih diserahkan ke mekanisme pasar.

"Kalau kita lihat ada harga obat HET tapi bisa jadi pergi ke apotik lain harga beda-beda, banyak cara mungkin diskon tertentu sehingga menjual lebih murah. Harusnya tidak boleh resale price maintenance (RPM) menetapkan harga jual kembali," ucap Sukarni. (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.