Sukses

BI: Kondisi Rupiah Saat 1998 Berbeda dengan Sekarang

Bank Indonesia mengharapkan defisit transaksi berjalan Indonesia dapat mencapai 2,5 persen atau di bawah itu pada akhir 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan perbedaan kondisi ekonomi saat ini dengan krisis moneter (krismon) 1998 sehingga menyebabkan kurs rupiah tertekan.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara membeberkan situasi dan kondisi ekonomi maupun politik Indonesia pada 2015 dan 1998. Indonesia terkena imbas krisis keuangan di Asia yang merupakan rentetan dari krisis beberapa negara.  

"Kenapa harus dibandingkan 1998? Saat 1998 ada krisis di Asia, Thailand, Korea, Malaysia lalu menjalar ke Indonesia. Ada juga krisis politik di tahun itu," kata dia usai Halal Bihalal di Gedung BI, Jakarta, Rabu (22/7/2015).

Mirza menambahkan, transaksi berjalan Indonesia saat krismon menerjang berada di atas 4 persen, perbankan dikelola pengusaha yang tidak prudent dan keterbatasan kepemilikan data utang luar negeri.

Perbaikan sudah dilakukan, sehingga fundamental ekonomi Indonesia semakin kuat. Hal ini, Mirza menuturkan, ditunjukkan dengan data penurunan transaksi berjalan Indonesia dari 4,4 persen di kuartal II 2013 menjadi 2,95 persen di akhir tahun lalu. Kemudian terus menyusut menjadi 1,85 persen di kuartal I 2015, dan di bawah 2,3 persen pada kuartal II ini.

"Akhir tahun ini diharapkan bisa di kisaran 2,5 persen atau di bawah itu. Data utang luar negeri kita sudah cukup akurat, utang luar negeri swasta sudah diatur dengan hedging," ujar Mirza.

Dia mengakui, tekanan rupiah datang dari faktor eksternal dan internal, salah satunya perlambatan ekonomi. Sebagai contoh Amerika Serikat yang diperkirakan ekonominya bertumbuh semakin kuat, namun faktanya tidak terlalu melesat.

"Ekonomi Indonesia melambat karena harga komoditas turun lantaran perekonomian China pun melambat. Tapi kita perkirakan ekonomi China di 2016 sudah lebih baik, jadi ekonomi Indonesia di semester II bisa lebih stabil. Ditambah kepastian suku bunga AS, diharapkan ekonomi kita lebih baik di tahun depan," kata Mirza.

BI, Mirza mengakui, akan selalu berada di pasar dalam rangka stabilisasi rupiah mengingat kurs rupiah sudah undervalue. Penyebabnya, dia bilang, karena ada tekanan penguatan dolar AS di seluruh dunia.

"Penguatan dolar bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia dan terhadap semua mata uang. Karena rupiah sudah undervalue sejak lama saat ada tapering off di 2013," pungkas Mirza.

Berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah berada di kisaran Rp 13.368 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu 22 Juli 2015. Angka ini cenderung melemah dari periode 15 Juli 2015 di kisaran Rp 13.329 per dolar AS. (Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.