Sukses

Gara-gara Syahrini, Ibu-ibu RI Jadi Gemar Barang Impor

Pada 2010, impor nasional mencapai US$ 136 miliar. Angka tersebut naik tajam pada 2012 yang tercapai mencapai US$ 192 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Usaha dari pemerintah yang mengajak masyarakat gemar menggunakan barang produksi dalam negeri mendapat tantangan berat. Tantangan tersebut bukan dari luar melainkan justru dari dalam negeri. Salah satu tantangan tersebut berasal dari artis-artis yang gemar menggunakan produk-produk asing.

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tony Prasetiantono menyatakan, Syahrini menjadi salah satu contoh artis yang tidak baik dalam mendorong penggunaan produk dalam negeri. Kegemaran penyanyi yang mempunyai nama asli Rini Fatimah Jaelani membeli produk Louis Vuitton tersebut tak layak menjadikan contoh di sisi penekanan impor.

"Louis Vuitton, masa tas harganya sampai ratusan juta, seperti yang dipakai Syahrini. Syahrini bukan idola yang baik bagi Kementerian Perdagangan, jangan sampai undang dia," gurau Tony, di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (23/2/2015).

Tony menambahi, untuk mengurangi impor, pemerintah juga harus mendorong industri lokal. "Kita dorong industri lokal. Saya tidak habis akal kenapa banyak yang ingin beli tas Hermes, tas LV. Itu tas digilai oleh ibu-ibu kita, dipicu Syahrini. Makanya jangan undang Syahrini," tuturnya.

Toni mengungkapkan, beberapa tahun terakhir, nilai impor Indonesia terus mengalami peningkatkan. Pada 2010, impor nasional mencapai US$ 136 miliar. Angka tersebut naik tajam pada 2012 yang tercapai mencapai US$ 192 miliar.

Tony pun berharap, Kementerian Perdagangan bisa memperkuat daya saing industri lokal sehingga masyarakat tidak menggunakan produk-produk impor. Salah satu caranya adalah dengan memberdayakan sektor Usaha Kecil Menengah.

"Harapan saya kementerian Perdagangan tidak hanya bagaimana menyerang, tapi bertahan dengan meningkatkan daya tahan serangan barang impor bisa kita mengembangkan sehingga hemat devisa," pungkasnya.

Impor baju bekas

Di sisi lain, saat kalangan menengah atas senang membeli tas impor bermerek, kalangan menengah ke bahwa juga senang membeli baju bekas impor. Maraknya penjualan baju bekas ternyata juga berdampak bagi industri tekstil nasional karena bisa memangkas pasar. Oleh karena itu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan akan memerangi peredaran baju bekas impor.

Sekretaris Jenderal API, Ernovian mengatakan, dari data yang dihimpun oleh asosiasi, kerugian industri tekstil nasional dari adanya impor baju bekas mencapai triliunan rupiah per tahun. "Angkanya antara Rp 8 triliun sampai Rp 11 triliun. Itu sebenarnya diisi oleh produk domestik bisa," kata dia.

Ernovian melanjutkan, peredaran baju bekas impor memberikan efek domino pada industri tekstil. Selain mengalami kerugian, industri tersebut juga terancam gulung tikar. "Kalau diambil barang bekas masuk, habis. Kalau diambil bukan hanya tutup tapi ada pengangguran, industri kita kan terintegrasi," paparnya.

Dia pun menegaskan, peredaran baju bekas tidak baik untuk kesehatan. Kemudian, baju bekas membuat martabat bangsa turun karena tergantung pada barang sisa atau buangan. "Lalu secara nasional, sosial, ekonomi parah. Masa bekas? Ini masalah harga diri," tandas dia. (Pew/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.