Sukses

Kenaikan Royalti Batu Bara Harus Penuhi Azaz Keseimbangan

Hal lain yang cukup penting terkait kebijakan kenaikan royalti atau kebijakan lain adalah soal transparansi.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diketahui berencana menaikan royalti IUP batu bara. Meski kemudian ada keputusan penundaan yang disampaikan Direktur Jenderal Minerba awal April 2014 lalu.

Meski ditunda, namun pengusaha batu bara masih belum mendapatkan kepastian, sebab menunda tidak berarti rencana tersebut batal. Beberapa pengamat pun menilai kebijakan menaikan royalti, harus memenuhi beberapa unsur.

“Setidaknya ada 3 unsur yang harus dipenuhi dalam royalti, yakni harga, kadar dan volume,” ujar Abrar Saleng, Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin Makassar, Kamis (21/5/2014).
 
Jika ketiga unsur tersebut sudah terpenuhi, harga naik, kadar bagus dan volume tetap, maka kenaikan royalti bukan masalah dan sesuatu yang wajar.  Akan menjadi bumerang, ketika royalti naik namun dari sisi harga, masih rendah.

Sebab itu dia meminta ada keseimbangan dan kebijaksanaan dari pemerintah. Kalau memang royalti naik, itu dilakukan saat harga batu bara sedang bagus. 

Namun yang terjadi selama ini, berbeda. Saat harga batu bara bagus, royalti justru tidak naik. Sebaliknya saat harga sedang anjlok, muncul keinginan untuk menaikan royalti.

Selain keseimbangan dari tiga unsur tersebut, hal lain yang cukup penting terkait kebijakan kenaikan royalti atau kebijakan lain adalah soal transparansi.

Pemerintah harus mengungkapkan dengan jelas, apa yang melatarbelakangi kenaikan tersebut.  Dengan mengutarakan alasan yang jelas, pengusaha pun diyakini bisa memahami sehinga kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan mereka.

Sebab jika pelaku usaha tidak bisa menjalankan aktivitas usahanya, maka akan menjadi beban pemerintah juga.

Sebab tugas pemerintah adalah melindungi setiap aktivitas usaha yang terjadi sehingga muaranya, pemerintah juga bertanggungjawab jika terjadi dampak yang meluas, misalkan penangguran dan sebagainya.

Lebih dari itu, Abrar juga mengharapkan agar pelaku usaha juga harus jujur. Ketika memang usaha yang dijalankan untung, jangan sampai melaporkan rugi.

Sebab selama ini, imbuhnya, pelaku usaha cenderung diam, jika usaha yang dilakukan memberi keuntungan. Namun jika rugi, mulai berkoar-koar.

“Semua harus jujur dan transparan, sehingga bisa mencapai titik kesimbangan tersebut,” sarannya.
Sementara itu, Ketua Sumber daya Alam, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengatakan , royalti sebenarnya merupakan ringkasan dari tiga aspek, biaya sosial, environmental cost dan biaya ekonomis.

Ketika pemerintah menunda rencana kenaikan royalti, hal tersebut hanya terkait satu aspek saja, yakni biaya ekonomi karena harga batu bara yang sedang jatuh.

Sementara dua aspek lain belum diperhitungkan. Padahal, kegiatan pertambangan, tidak bisa dilepaskan dari semua aspek tersebut, lingkungan juga sosialnya.

Singgih bahkan menyarankan pemerintah agar lebih fokus pada kontrol kegiatan pertambangan di daerah. Sejak awal kegiatan sampai pada kegiatan pasca tambang juga termasuk kegiatan sosial perusahaan.

Karena menurut dia, masih banyak perusahaan yang masih belum melaksanakan kegiatan pertambangan dengan baik dan benar. Masih banyak perusahaan yang mengakali stripping ratio, banyak juga yang mengabaikan kegiatan pasca tambang.
 
“Kalau tidak dilakukan pengawasan, maka harapan untuk melakukan konservasi sumber daya alam, tidak akan terwujud,” ungkapnya.(Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.