Sukses

Kredit Tak Direm, Rupiah Bisa Terjun ke 15 Ribu/US$

Kurs rupiah yang menyentuh 15 ribu per dolar AS akan membawa ekonomi Indonesia kembali mengalami krisis.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) diimbau menahan laju pertumbuhan kredit yang saat ini masih mencapai 20%. Jika tidak, nilai tukar rupiah akan terjun bebas ke level Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS).

"Meski suku bunga acuan sudah naik sampai 7,5%, tapi pertumbuhan kredit masih cukup tinggi 20%. Investasi juga bertumbuh," kata Pengamat Ekonomi sekaligus Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani di acara ANZ Economic Outlook di Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Aviliani khawatir, kurs rupiah yang menyentuh 15 ribu per dolar AS akan membawa ekonomi Indonesia kembali mengalami krisis. Melemahnya rupiah membuat permintaan masyarakat jauh lebih tinggi ketimbang pasokan.

"Permintaan susah turun, karena ada anomali dari orang Indonesia semakin mahal barang, maka semakin banyak dibeli. Tapi kalau barang murah malah tidak dibeli, jadi ada perubahan perilaku dari masyarakat," tambah dia.

Aviliani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi mencapai 5%-6% pada tahun ini, akan mendorong prospek cerah bagi beberapa sektor usaha diantaranya infrastruktur, farmasi, keuangan, dan properti.

Hal yang tak kalah penting adalah pemerintah masih harus memperhatikan gini rasio atau kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin yang mencapai 0,40%, atau di level yang cukup tinggi.

"Makanya perlu membereskan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan mewajibkan subsidi ke orang bukan ke barang, termasuk menerapkan subsidi tetap supaya tidak mengganggu fiskal kita," terangnya.

Pada bagian lain, Aviliani juga menyoroti persoalan pinjaman luar negeri yang setiap tahun terus meningkat. Kondisi ini membuat permintaan dolar AS terkerek naik untuk keperluan pembayaran utang. Padahal, pengusaha asal Indonesia mayoritas mengantongi penghasilan dalam denominasi rupiah.

"Demand domestik harus ditingkatkan, karena pembeli surat utang atau obligasi kita masih dari asing. Coba lihat Jepang di mana pembeli obligasinya kebanyakan adalah masyarakat Jepang sendiri, sehingga kurs mata uangnya tidak terdepresiasi dalam," kata Aviliani.(Fik/Shd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini