Pertama dalam 30 Tahun, ADB Ramal Ekonomi Negara Berkembang di Asia Tumbuh Lebih Cepat dari China

ADB mengungkapkan bahwa ekonomi negara berkembang di Asia Akan tumbuh dengan angka yang lebih tinggi dari China, karena aktvitas ekonomi negara itu terhambat kebijakan nol-Covid-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Sep 2022, 11:43 WIB
Seorang perempuan mengendarai sepedanya dengan seorang anak duduk di kursi belakang melewati Kota Terlarang di Beijing, China, Selasa (7/6/2022). Pemerintah melonggarkan beberapa pembatasan Covid-19 dengan sebagian besar museum gedung bioskop, dan pusat kebugaran diizinkan beroperasi hingga 75 persen dari kapasitas. (WANG Zhao / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mengungkapkan bahwa ekonomi negara berkembang di Asia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, dan akan tumbuh dengan angka yang lebih tinggi dari China karena kebijakan nol-Covid-19.

ADB mengatakan dalam laporan prospek terbarunya mengatakan, bahwa ini menandai pertama kalinya dalam lebih dari tiga dekade ekonomi negara berkembang Asia akan tumbuh lebih cepat dari China.

"Terakhir kali adalah pada tahun 1990, ketika pertumbuhan (China) melambat menjadi 3,9 persen sementara PDB di wilayah lain meningkat sebesar 6,9 persen," kata ADB, dikutip dari CNBC Intenational, Rabu (21/9/2022).

ADB sekarang memperkirakan ekonomi negara-negara berkembang di Asia, tidak termasuk China, akan tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2022 ini, sementara China tumbuh ,3 persen.

Namun, kedua angka tersebut menurunkan penurunan prospek. Pada Juli 2022, misalnya, ADB memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China menjadi 4 persen dari 5 persen.

ADB mengaitkannya dengan lockdownn sporadis dari kebijakan nol-Covid-19 secara nasional, masalah di sektor properti, serta perlambatan aktivitas ekonomi karena permintaan eksternal yang lebih lemah.

Hambatan-hambatan itu juga menurunkan perkiraan ADB pada pertumbuhan ekonomi China untuk 2023 mendatang menjadi 4,5 persen dari 4,8 persen. 

Perkiraan terbaru ADB untuk ekonomi negara berkembang Asia - 4,3 persen juga menandai penurunan dari prediksi sebelumnya sebesar 4,6 persen pada Juli 2022.

Proyeksi ekonomi kawasan itu di tahun berikutnya juga diturunkan menjadi 4,9 persen dari semula 5,2 persen.

Meskipun kawasan ini menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan melalui kebangkitan pariwisata, tantangan global memperlambat pertumbuhan secara keseluruhan, ADB menjelaskan.

2 dari 4 halaman

ADB : Inflasi di Negara Berkembang Asia Bakal Meningkat Hingga 2023

Pekerja membersihkan kaca gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (26/02/2021). BP Jamsostek menekankan dua aspek penting terkait pandemi Covid-19, yakni isu kesehatan dan perekonomian dengan jaminan sosial bagi para pekerja dan penerapan K3. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Pembaruan terbaru untuk Asian Development Outlook juga memperkirakan bahwa laju kenaikan harga akan semakin meningkat menjadi 4,5 persen pada tahun 2022 dan 4 persen pada tahun 2023. 

Angka ini menandai kenaikan dari proyeksi yang dikeluarkan dari bulan Juli 2022 masing-masing sebesar 4,2 persen dan 3,5 persen, mengutip tekanan inflasi tambahan dari pangan dan biaya energi.

"Bank sentral regional menaikkan suku bunga kebijakan mereka karena inflasi sekarang telah meningkat di atas tingkat pra-pandemi," katanya.

"Ini berkontribusi pada kondisi keuangan yang lebih ketat di tengah prospek pertumbuhan yang meredup dan pengetatan moneter yang dipercepat oleh The Fed," beber ADB.

"RRT tetap menjadi pengecualian besar karena lockdown di wilayahnya yang terputus-putus tetapi ketat untuk membasmi wabah sporadis," lanjut bank tersebut, ADB, merujuk pada China.

Namun "Pelonggaran pembatasan pandemi, peningkatan imunisasi, penurunan angka kematian Covid-19, dan dampak kesehatan yang lebih ringan dari varian Omicron mendukung peningkatan mobilitas di sebagian besar wilayah," tambahnya dalam laporan tersebut.

 

3 dari 4 halaman

Ketika Kebijakan Ketat Covid-19 Membebani Keuangan Kota-kota di China

Para komuter yang mengenakan masker menunggu di persimpangan kawasan pusat bisnis di Beijing, China, Selasa (31/5/2022). Otoritas Shanghai mengatakan mereka akan mengambil beberapa langkah besar pada Rabu untuk membuka kembali kota terbesar di China setelah dua bulan penguncian COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

engetatan pembatasan terkait Covid-19 di China disebut sebut menguras biaya yang besar bagi pemerintah lokal, menimbulkan ancaman baru bagi ekonomi dan investor obligasi.

Dilansir dari Bloomberg, Senin (19/9/2022) Provinsi Jilin di China telah memperingatkan masalah yang semakin terlihat antara pengeluaran dan pendapatan.

Departemen keuangan provinsi Jilin dalam laporan pelaksanaan anggaran semester pertamanya mengungkapkan, keuangan di hampir setengah dari 60 pemerintah tingkat daerah dan distrik sangat ketat sehingga mereka terkena "risiko operasional."

31 wilayah provinsi di China, kecuali Shanghai, mencatat defisit dalam tujuh bulan pertama tahun ini.

Pejabat kesehatan China bulan ini mengumumkan serangkaian tindakan yang akan dilakukan hingga akhir Oktober, termasuk meminta masing-masing pemerintah daerah untuk menggelar tes Covid-19 secara rutin, terlepas dari tingkat infeksi. 

Adapun lockdown yang diberlakukan di berbagai kota, salah satunya di Chengdu, kota terbesar keenam di China dengan 21 juta penduduk.

Kondisi ini membuat pemerintah kota di China berusaha memotong pengeluaran sebisa mungkin. Pegawai pemerintah di wilayah pesisir mengalami pemotongan pendapatan karena bonus dan subsidi dihapus, menurut laporan media lokal.

Ditambah lagi, perusahaan tes Covid-19 juga tengah kesulitan menerima pembayaran dari layanan, dengan beberapa memperingatkan meningkatnya risiko kredit macet.

"Jika pendapatan fiskal tidak dapat pulih pada paruh kedua tahun ini, pengeluaran harus dikurangi karena defisit anggaran tidak dapat dilampaui," kata Ding Shuang, kepala ekonom untuk China dan Asia Utara di Standard Chartered Plc.

"Pengeluaran fiskal yang lebih lambat daripada paruh pertama tahun ini tentu akan menjadi hambatan bagi perekonomian," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Kebijakan Covid-19 Masih Ketat, Ekonom Pangkas Proyeksi Ekonomi China

Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menyemprotkan disinfektan ketika seorang wanita menunggu tenggorokannya diusap untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Beberapa kota di China yang sedang dilanda wabah Covid-19 menerapkan peraturan pembatasan sosial baru. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Kemerosotan di pasar properti dan sektor manufaktur, yang secara gabungan menyumbang setengah dari produk domestik bruto China, memperberat upaya pemulihan negara itu dari gangguan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan Covid-19 yang ketat.

Juga pada Kamis (1/9/2022), survei sektor swasta menunjukkan aktivitas pabrik di China berkontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga bulan pada Agustus 2022 di tengah melemahnya permintaan, sementara kekurangan listrik dan kasus baru Covid-19 mengganggu produksi.

Masalah-masalah ini membuat para ekonom di China memangkas perkiraan PDB negara tersebut.

"Mempertimbangkan dampak penjatahan listrik yang tidak terduga, bersama dengan kenaikan kasus Covid-19, penurunan properti, dan konsumsi yang lamban, saya telah menurunkan pertumbuhan PDB pada kuartal ketiga menjadi 3,5 -4 persen dari 5 persen," kata Nie Wen, ekonom di Hwabao Trust yang berbasis di Shanghai.

"Kabinet telah menyatakan keprihatinan serius yang relatif besar atas keadaan ekonomi saat ini," ujarnya, dikutip dari US News, Jumat (2/9/2022). 

"Ekonomi berada pada risiko penurunan dua kali lipat karena kelemahan properti yang masih ada, kekurangan listrik di tengah gelombang panas dan wabah Covid-19 lokal," ungkap Xiangrong Yu, kepala ekonom China di Citi, dalam sebuah laporan.

Hampir 70 kota di China melaporkan penurunan harga rumah baru pada bulan Agustus 2022. Ini juga merupakan penurunan terbesar sejak mulainya pandemi Covid-19, menurut China Index Academy, salah satu perusahaan riset real estat independen terbesar negara itu.

Sementara itu, China mengatakan akan mengungkapkan rincian terkait langkah-langkah kebijakan ekonomi baru pada awal September 2022, menurut laporan media pemerintah yang mengutip pejabat pemerintahan, setelah pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri China Li Keqiang.

Infografis 12 Cara Sehat Hadapi Stres Era Pandemi Covid-19 (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya