Yusril Sebut Penundaan Pemilu 2024 Bisa Buat Negara Karut-marut, Munculkan Diktaktor

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut Indonesia akan mengalami keadaan buruk apabila Pemilu 2024 ditunda.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 27 Feb 2022, 13:42 WIB
Yusril Ihza Mahendra saat memberi keterangan kepada awak media saat melakukan pertemuan dengan Ketua DPD Oesman Sapta Odang di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (26/7). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut Indonesia akan mengalami keadaan buruk apabila Pemilu 2024 ditunda. Dia menilai penundaan pemilu berpotensi membuat negara menjadi karut-marut hingga memunculkan seorang diktaktor.

"Mungkin saya pesimistis terlalu berlebihan. Tetapi membayangkan keadaan paling buruk itu, perlu bagi kita untuk mengantisipasi jangan sampai itu terjadi," kata Yusril kepada wartawan, Jakarta, Minggu (27/2/2022).

Dia menilai usulan penundaan pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pertama, pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam UUD Pasal 1 ayat 2 dimana digelat sekali dalam lima tahun.

"Pemilu itu untuk memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR (Pasal 2 ayat 1). Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali," ujar Yusril.

Dia mengatakan, ketentuan tersebut berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya.

"Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," jelasnya.

Atas dasar itu, kata dia, semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya ilegal atau tidak sah. Jika para penyelenggara negara itu semuanya ilegal, maka tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka.

"Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR," tutur Yusril.

Bahkan, dia menuturkan masyarakat berhak menolak keputusan apapun yang dibuat penyelenggara negara sebab keputusan itu tidak sah dan ilegal. Disisi lain, penyelenggara negar yang masih legal di tingkat pusat hanya Panglima TNI dan Kapolri.

"Jika Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal itu," ucapnya.

"Tetapi kalau tidak kompak (Kapolri dan Panglima TNI), bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," sambung Yusril.

Selain itu, dia menyampaikan, gubernur, bupati dan wali kota masih sah menjalankan roda pemerintahan apabila masa jabatannya belum habis. Namun, DPRD tak lagi bisa mengontrol pemerintah daerah karena penundaan pemilu membuat lembaga itu menjadi ilegal.

"Begitu juga tanpa pertanggungjawaban lagi kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bagaimana mau bertanggung jawab kalau Presidennya sudah ilegal?" kata dia.

 

2 dari 2 halaman

Munculkan Diktator

Yusril khawatir keadaan bangsa dan negara akan benar-benar karut-marut akibat penundaan Pemilu dan menimbulkan anarki. Dia mengingatkan situasi anarki berpotensi memunculkan seorang diktaktor untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi.

"Diktator akan mendorong konflik makin meluas. Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar," pungkas Yusril.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengungkapkan bahwa banyak orang yang setuju dengan usulan dirinya agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda satu hingga dua tahun.

Pernyataan tersebut mengacu pada analisa big data perbincangan yang ada di media sosial. Menurut Cak Imin, dari 100 juta subjek akun di media sosial, sebanyak 60% mendukung pemilu 2024 ditunda dan 40% menolak.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya