Biang Kerok Raksasa Migas Asing Berbondong Hengkang dari Indonesia

Persepsi yang keluar sekarang karena banyak blok migas atau Wilayah Kerja (WK) yang telah selesai diberikan ke Pertamina.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 22 Des 2021, 12:50 WIB
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Investasi asing di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia berpotensi semakin terus berkurang. Usai ConocoPhillips Indonesia Holding hengkang dari Tanah Air, beberapa pemain besar migas seperti Shell, Chevron hingga Total dikabarkan bakal menyusul.

Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan memandang, alasan utama perginya perusahaan-perusahaan itu lebih karena adanya shifting portfolio. Namun, ia menambahkan, persepsi yang keluar sekarang karena banyak blok migas atau Wilayah Kerja (WK) yang telah selesai diberikan ke Pertamina.

"Jadi persepsinya seperti ada nasionalisasi di negara Indonesia dalam industri hulu migas," ujar Tumbur, Rabu (22/12/2021).

Kedua, pemain migas besar dunia itu dijanjikan akan dikembalikan unrecovered cost saat wilayah kerjanya diserahkan ke Pertamina. Tapi ternyata masih banyak yang belum dibayarkan hingga saat ini.

"Jadi persepsi untuk nasionalisasi yang tumbuh sekarang di investor, dan kepastian hukumnya pun makin tidak jelas. Itu yang jadi masalah sebetulnya di persepsi para investor untuk berinvestasi di negara Indonesia," ungkap Tumbur.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Rezim Fiskal

Sumur migas milik PT Pertamina Hulu Energi (PHE), salah satu anak usaha PT Pertamina (Persero). (Dok PHE)

Tumbur menilai, dengan makin banyaknya perusahaan besar migas yang keluar dari Indonesia, itu membuat jadi tidak menarik juga untuk pemain lain datang ke Indonesia.

"Kita bisa lihat, dari berapa kali kita melakukan lelang dan tidak ada peminatnya. Itu masalahnya, dari pemain besar atau pemain regional untuk datang ke Indonesia untuk berinvestasi," urainya.

Selain ada persepsi nasionalisasi, rezim fiskal di Indonesia pun disebutnya masih kalah menarik dibanding negara-negara lain. "Kita termasuk low average dibanding negara penghasil minyak lainnya, baik regional maupun internasional," tandasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya