Ada Klausul Penagihan Pajak Global dengan Surat Paksa dalam RUU KUP

Selama ini pemerintah sudah berupaya mengusulkan bantuan penagihan pajak atas permintaan otoritas lain yang sudah bekerja sama dengan Ditjen Pajak Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jul 2021, 13:30 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah melakukan reformasi perpajakan dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Saat ini RUU tersebut tengah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Salah satu poin dalam reformasi perpajakan tersebut adalah asistensi penagihan pajak global. Dalam aturan yang ada saat ini tidak diatur soal penagihan pajak global. Dalam RUU yang tenga dibahas, pemerintah bisa menagih pajak otoritas negara lain. Sebaliknya negara lain juga bisa menagih pajak di Indonesia pada saat wajib pajak yang ada di Indonesia bertepat tinggal di negara lain.

"Secara KUP pada saat ini memang belum ada klausula yang boleh boleh kita melakukan karena keterbatasan itulah," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo, dalam rapat panja bersama DPR mengenai RUU KUP, Senin (5/7/2021).

Selama ini pemerintah sudah berupaya mengusulkan bantuan penagihan atas permintaan otoritas lain yang sudah bekerja sama dengan Ditjen Pajak Indonesia. Sebaliknya pemerintah juga bisa meminta bantuan kepada otoritas negara lain ntuk melakukan bantuan untuk Indonesia.

"Jadi inilah yang kita coba rumuskan di dalam Undang-Undang (UU) KUP karena untuk bantuan penagihan ini sifatnya kita juga mengimplementasikan UU penagihan pajak dengan surat paksa," kata dia.

Sehingga terdapat dua UU yang coba direlasikan di dalam RUU KUP pada saat pemerintah sudah sepakat dengan beberapa negara mitra untuk saling melakukan penagihan pajak melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan Mutual Administrative Aassistance Convention in Tax Matter (MAC).

"Jadi ada 46 negara yang sudah setuju saling membantu untuk MAC dan juga ada 13 P3B pada waktu kita menandatangani ada klausula penagihan secara aktif oleh masing masing pihak yang bersepakat. Jadi kalau kita bisa melakukan negara lain juga bisa melakukan aktivitas itu bisa dijalankan," tandasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Rincian Lengkap Skema PPN Rancangan Pemerintah

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan secara rinci rencana Pemerintah mengubah aturan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Sejauh ini ada skema PPN yang diterapkan adalah tarif PPn single rate 10 persen.

“Kira-kira RUU nanti, kalau saat ini apa itu undang-undang mengatur tarif PPN 10 persen. Kita mengusulkan ada penyesuaian tarif karena tadi dibanding negara lain kita masih jauh. Tetapi nanti bisa di atasi dikompensasi dengan multi tarif,” kata Yustinus dalam Webinar Nasional Dampak RUU PPN terhadap Industri Strategis Nasional, di kanal Youtube PATAKA Channel, Kamis (1/7/2021).

Adapun secara rinci skema rancangan pengenaan PPN yang baru, yakni pertama ada tarif umum, di mana saat ini 10 persen dan akan dinaikkan menjadi 12 persen.

Kendati dinaikkan, menurut Yustinus tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif negara  OECD sebesar 19 persen dan negara-negara BRICS sebesar 17 persen.

Kedua ada tarif rendah (lower rate) sebesar 5 atau 7 persen dikenakan untuk barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pangan dasar rumah tangga dijaga agar tetap terjangkau sehingga dikenai tarif 5 persen.

Sementara untuk jasa tertentu seperti pendidikan dan angkutan penumpang dikenai tarif 7 persen untuk menjaga agar jasa tetap berkualitas dan terjangkau.

“Ini yang kita rancang, dengan demikian kalau sekarang semua barang kena PPN 10 persen, kelak  kita bisa mengatur kalau kebutuhan susu, perlengkapan bayi, perlengkapan perempuan, perlengkapan sekolah sekarang kena 10 persen kelak bisa terapkan 5  atau 7 persen itu yang sebenarnya ini diakomodir,” jelasnya.

 

3 dari 3 halaman

Tarif Tinggi

Ketiga, tarif tinggi (Higher rate) sebesar 15-25 persen, dikenakan untuk barang yang tergolong mewah atau sangat mewah. Tujuannya untuk memberikan keadilan lantaran kebutuhan ini dikonsumsi oleh orang kaya, contoh rumah, apartemen mewah, barang mewah seperti tas, sepatu, arloji dan berlian.

Keempat ada PPN final 1 persen, yang berlaku bagi pengusaha tertentu atau kegiatan tertentu, yakni perusahaan kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha tertentu, misalnya PKP dengan peredaran usaha maksimal Rp 1,8 miliar. Lalu PKP dengan kegiatan usaha tertentu, misalnya pengusaha produk pertanian.

 “Sehingga untuk ritel termasuk pertanian perkebunan dan lain-lain yang sulit administrasinya bisa dikecualikan dari administrasi umum pajak keluaran dikurangi pajak masukan, tetapi bisa menggunakan tarif efektif yang lebih rendah dan lebih mudah pengenaannya,” pungkasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya