HUT Bhayangkara, Polri Dinilai Perburuk Demokrasi Lewat Dalih Pandemi Covid-19

Salah satu evaluasi yang disorot KontraS dalam momentum HUT Bhayangkara ke-75 adalah terkait sikap diskriminatif yang memperburuk nilai demokrasi.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 30 Jun 2021, 19:07 WIB
Sejumlah personel polisi berbaris saat berlangsungnya upacara peringatan HUT Ke-73 Bhayangkara di kawasan Monas, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi inspektur upacara yang dihadiri sebanyak 4.000 personel Polri dan 7 resimen TNI tersebut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kinerja Polri selama periode Juni 2020 hingga Mei 2021 atau sepanjang pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia.

Salah satu evaluasi yang disorot dalam momentum HUT Bhayangkara ke-75 adalah terkait sikap diskriminatif yang memperburuk nilai demokrasi.

Peneliti KontraS Tioria pretty menyampaikan, situasi Pandemi Covid-19 memang cukup mempengaruhi dan mengubah dinamika sosial politik masyarakat. Berbagai pembatasan aktivitas dilakukan demi mengurangi laju penyebaran virus dan mengimplementasikan protokol kesehatan.

"Namun, pembatasan ini harus tetap berada dalam koridor hak asasi manusia (HAM) sebagaimana amanat yang tertuang dalam konstitusi. Pembatasan haruslah bersifat adil dan dilakukan secara menyeluruh, bukan justru diskriminatif dan hanya menyasar kelompok-kelompok tertentu saja," tutur Tioria saat konferensi pers, Rabu (30/6/2021).

Menurut Tioria, tindakan di lapangan yang sifatnya eksesif dan diskriminatif terpantau telah dilakukan Polri tanpa didasari pertimbangan dari segi HAM. Pihaknya menemukan adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, yaitu melalui dalih pandemi Covid-19 sebagai suatu legitimasi untuk berbagai tindak kekerasan.

"Tindakan kepolisian yang memanfaatkan pandemi untuk merepresi warga merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Ini dapat dilihat dari tindakan Polri di lapangan yang semakin gencar mengekang kebebasan berekspresi mereka yang aktif mengemukakan kritik kepada pemerintah di muka publik," jelas dia.

Pembatasan ruang gerak ini, Tioria melanjutkan, seringkali dilakukan dengan mengkriminalisasi warga dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang atau penculikan, juga pembubaran aksi. Polri melakukan hal tersebut kepada massa aksi yang dianggap tidak mematuhi protokol kesehatan saat melakukan demonstrasi.

"Terdapat setidaknya tiga kasus penangkapan sewenang-wenang yang berlindung di balik dalih pandemi dan mengakibatkan 95 orang ditangkap," kata Tioria.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Penangkapan Dinilai Sewenang-wenang

Lebih lanjut, penangkapan terbanyak dilakukan saat Aksi Menolak Omnibus Law pada Oktober 2020. Tioria menyebut ada 14 kasus penangkapan sewenang-wenang terjadi dalam kurun aksi penolakan Omnibus Law.

Rangkaian represivitas itu menjadi lanjutan dari terbitnya Surat Telegram Kapolri No. STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 yang berisikan perintah untuk melakukan pengintaian, pencegahan, bahkan penindakan bagi warga yang menolak Omnibus Law.

Tidak ketinggalan, Aksi Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional pada 1-3 Mei 2021. Puluhan mahasiswa dibawa ke Polda Metro Jaya dengan dalih upaya preventif agar tidak terjadi kerusuhan, dan alasan bahwa mahasiswa tidak seharusnya mengikuti aksi buruh.

"Seseorang tidak dapat diambil secara paksa tanpa alasan hukum yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Instrumen internal kepolisian sebenarnya telah mengatur tegas mengenai pelarangan terhadap praktik penangkapan sewenang-wenang dan penculikan, yakni tercantum dalam Perkap HAM Kepolisian No.8 Tahun 2009. Akan tetapi kami melihat praktik semacam ini justru semakin masif terjadi dalam aksi yang dilakukan pada saat pandemi," Tioria menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya