Upaya Tenaga Medis Amerika Melawan Kelompok Tak Percaya Covid-19

Sejumlah dokter di Amerika Serikat membuat komunitas untuk melawan disinformasi tentang Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2020, 09:00 WIB
Ilustrasi penyuntikan vaksin Covid-19 (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang menyepelekan virus corona Covid-19 dipermasalahkan sejumlah dokter di Amerika Serikat.

Ketika virus kali pertama menyerang Amerika Serikat, Trump mengatakan, virus corona akan menghilang seperti keajaiban. Trump juga pernah menyampaikan bahwa virus corona adalah tipuan, meragukan penelitian, dan mengabaikan penggunaan masker.

Setelah terkena Covid-19, Trump menyampaikan kepada pengikutnya, "anda akan mengalahkannya". Padahal, jumlah korban meninggal akibat Covid-19 di Amerika Serikat mencapai lebih dari 220.000 jiwa.

Seorang dokter di Michigan, Farhan Bhatti menemukan kelompok pengikut Trump yang meragukan Covid-19 dalam praktiknya.

Pertama, pasien bersikeras Covid-19 adalah tipuan. Namun ketika terinfeksi Covid-19, pasien tersebut memohon obat malaria yang pernah diklaim oleh Trump mampu menyembuhkan Covid-19. Si pasien, kata Bhatti, juga menolak untuk divaksin.

"Orang-orang yang terpapar informasi salah sangat sulit diobati secara medis," kata Bhatti seperti dilansir dari bloomberg.com, Jumat (23/10/2020).

Menurut Bhatti, pemahaman masyarakat juga memengaruhi perilaku, kesehatan, dan risiko penyebaran. "Teori konspirasi dan informasi yang salah tentang sains sudah ada sebelum Covid-19, tetapi sekarnag lebih mematikan,” ucap Bhatti.

Ahli alergi di Fort Worth, Texas, Susan Bailey menjelaskan, ketidakpercayaan pada penelitian sains yang didukung dengan penyebaran informasi yang salah, membuat tenaga medis kesulitan untuk merawat pasien.

"Kami belum pernah melihat pandemi yang menyebabkan kehancuran disebabkan informasi beredar di media sosial. Sangat sulit untuk menyaring apa yang nyata dan yang tidak," kata Bailey.

Bailey mengatakan, dia merawat pasien asma dan menghindari penggunaan masker di tempat kerja. Namun permintaan pasien ditolak karena memakai masker tidak menganggu pernapasan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Bentuk Komunitas Lawan Disinformasi

Ilustrasi coronavirus, virus corona, koronavirus, Covid-19. Kredit: Fernando Zhiminaicela via Pixabay

Sebelum pandemi, American Marketing Association (AMA) meminta perusahaan media sosial untuk mengatasi kesalahan informasi tentang vaksin yang beredar di media sosial. Pada April 2020 lalu, AMA menegaskan agar, para pemimpin yang terpilih untuk mendukung bukti dan fakta sains.

Sementara, untuk menghadapi penyebaran disinformasi yang semakin meningkat, Bhatti bergabung bersama dokter lain untuk membentuk komunitas. Tujuannya untuk melakukan komunikasi dan menyebarkan fakta sains yang dinamai Doctors Organized Communicate Science.

Ketika Trump mengatakan bahwa dia menggunakan obat malaria hydroxychloroquine sebagai upaya pencegahan, Bhatti menolak pasien mengonsumsinya.

"Saya disebut penjahat karena tidak memberi mereka obat," katanya.

Lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) menemukan obat tersebut berbahaya. Bhatti khawatir, jika pasien tetap memaksa mengonsumsi obat tersebut, akan berakibat fatal bagi kesehatan. 

Gallup merilis survei bahwa hanya setengah orang Amerika bersedia melakukan vaksin, mengalami penurunan 11 persen dari Agustus. Bhatti menjelaskan, banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara pasien, khususnya mereka yang mendukung klaim Trump.

Beberapa pasien percaya, teori konspirasi keterlibatan Bill Gates dalam upaya vaksin, dan yang lainnya percaya teori Big Pharma. Meski demikian, Bhatti dan rekan-rekannya tetap optimis bisa membuat pasien untuk percaya sains. Tapi perlawanan yang dihadapi tidak mudah.

"Sangat sulit untuk membuat tidak terisnggung. Mereka mengatakan memercayai anda, ketika anda memberikan nasihat kesehatan berkaitan dengan virus corona mereka menentangnya," tutup Bhatti.

 

(Indah Suci Safitri)

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya