Jatim Alami Deflasi 0,29 Persen pada Juli 2020, Tertinggi di Surabaya

Dari delapan kota IHK di Jawa Timur, empat kota alami deflasi dan sisanya mengalami inflasi pada Juli 2020.

oleh Agustina Melani diperbarui 02 Sep 2020, 10:30 WIB
Pedagang melayani pembeli di Pasar Kebayoran, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen. Posisi ini lebih rendah dari deflasi Agustus 2019 sebesar 0,68%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi Jawa Timur sebesar 0,29 persen pada Juli 2020.  Sementara itu, deflasi secara nasional tercatat 0,10 persen. Pandemi COVID-19 dinilai berkontribusi terjadinya deflasi di Jawa Timur pada Juli 2020.

Mengutip laman BPS Jawa Timur,  Senin (3/8/2020), dari delapan kota IHK di Jawa Timur, empat kota alami deflasi dan sisanya mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Surabaya sebesar 0,41 persen dan inflasi tertinggi terjadi di Probolinggo.

Kota lainnya alami deflasi antara lain Sumenep sebesar 0,12 persen, Kediri sebesar 0,06 persen, dan Madiun sebesar 0,04 persen. Sedangkan kota lainnya alami inflasi yaitu Malang sebesar 0,06 persen, Banyuwangi dan Jember masing-masing sebesar 0,01 persen.

Deflasi terjadi karena ada penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya sebagian indeks kelompok pengeluaran yaitu kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 1,22 persen. Kelompok ini memberikan sumbangan deflasi yang dominan antara lain bawang merah sebesar 0,10 persen, daging ayam ras sebesar 0,06 persen dan bawang putih sebesar 0,03 persen.

Kemudian kelompok transportasi sebesar 1,05 persen. Pada kelompok ini jasa angkutan penumpang mengalami deflasi sebesar 6,8 persen. Komoditas yang dominan berkontribusi deflasi yaitu angkutan udara sebesar 0,17 persen.

Sedangkan kelompok yang alami inflasi antara lain kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,16 persen, kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,01 persen.

Kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,14 persen, kelompok kesehatan sebesar 0,24 persen, kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,01 persen. Kelompok pendidikan sebesar 0,15 persen, kelompok penyediaan makanan dan minuman, restoran sebesar 0,21 persen, dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 1,25 persen. Sementara kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya tidak berubah.

Tingkat inflasi tahun kalender Juli 2020 sebesar 0,85 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Juli 2020 terhadap Juli 2019) sebesar 1,5 persen.

Adapun komoditas emas perhiasan dan telur ayam ras menjadi penghambat utama terjadinya deflasi di semua kota IHK di Jawa Timur. Demikian juga komoditas cabai rawit kecuali di Jember dan Surabaya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Dosen Unair: Deflasi karena Pandemi

Pedagang melayani pembeli di Pasar Kebayoran, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen. Posisi ini lebih rendah dari deflasi Agustus 2019 sebesar 0,68%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

KPS S2 Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Wisnu Wibowo menuturkan, deflasi terjadi satu hingga dua bulan setelah Lebaran tidak normal. Ia menilai, deflasi yang terjadi karena pandemi COVID-19.

"Tunjukkan ketidakpastian ekonomi dan ancaman resesi memang nyata," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menuturkan, inflasi turun dari sisi moneter karena peredaran uang yang menurun. Ini artinya peredaran uang turun karena aktivitas ekonomi juga turun.

"Kalau dari sisi demand bisa dilihat inflasi dengan kenaikan harga, tapi terjadi penurunan jumlah uang beredar di pasar, barang terjadi penurunan harga disebabkan melemahnya konsumsi masyarakat sehingga harga juga turun,” tutur dia.

Wisnu mencontohkan, Ibadah Haji pada 2020 tidak dilaksanakan karena pandemi sehingga mempengaruhi konsumsi masyarakat. Demikian juga kegiatan sosial lainnya yang terbatas sekarang. Hal ini menyebabkan permintaan turun dan  aliran dana belum pulih karena ada pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga berdampak terhadap daya beli.

"Tiga hingga empat bulan tidak bekerja daya beli melemah. Sisi lain banyak kegiatan ekonomi masyarakat yang tidak dilakukan karena pandemi,” ia menambahkan.

Oleh karena itu, Wisnu mengingatkan untuk mewaspadai deflasi yang terjadi. Hal ini untuk mengantisipasi sehingga pertumbuhan ekonomi tidak turun dalam.

"Jangan sampai ke resesi. Ini harus waspadai apalagi enam negara masuk resesi. Ini tantangannya, bisa saja terimbas akibat resesi di sejumlah negara sehingga pengaruhi ekspor, impor dan investasi.  Kita punya potensi alami resesi," kata dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya