Ini Sejarah Halalbihalal yang Ternyata Asli dari Indonesia

Tradisi halalbihalal tak ada di negara lain, cuma di Indonesia. Bagaimana awal mulanya?

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 12 Mei 2021, 11:38 WIB
Sejumlah umat muslim bersilaturahmi dan saling memaafkan usai menjalan salat Ied pada perayaan Idul Fitri di Tangerang, (25/06/2017) (Goh Chai Hin / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Tradisi halalbihalal hanya ada di Indonesia. Tradisi saling memaafkan di hari Lebaran ini tak ditemukan di negara lain, bahkan negara yang menyebut dirinya negara Islam. Siapa sangka jika tradisi ini bermula dari niat menyatukan bangsa dari perpecahan?

Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi dengan tegas bercerita bahwa untuk istilah halalbihalal memang pertama diucapkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama.

Kisah bermula saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945. Baru tiga tahun menjadi bangsa merdeka, Indonesia dilanda gejala disentegrasi bangsa. Elite politik bertengkar dan tak mau duduk berdialog dalam satu forum.

"Kondisi ini diperburuk adanya pemberontakan yang memaksakan ideologi," kata KH Masdar Farid Mas'udi.

Presiden Jokowi menggelar halalbihalal di Istana Negara (Liputan6.com/ Faizal Fanani)
2 dari 3 halaman

Sosok Ulama KH Wahab Chasbullah

Diawali pada pertengahan bulan Ramadan 1948, Presiden RI Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara. Sebagai sosok ulama yang disegani, KH Wahab Chasbullah diajak berdiskusi untuk mengatasi situasi politik yang tidak sehat.

"Ya sebaiknya diselenggarakan silaturahim. Apalagi Idul Fitri kan umat muslim disunahkan bersilaturahmi," saran Kiai Wahab.

"Ah, sampeyan kayak enggak tahu saja. Silaturahmi itu kan biasa. Bisa enggak dengan istilah yang lain," Bung Karno ngeyel.

"Itu gampang," kata Kiai Wahab.

"Gampang bagaimana? Mereka terus saja bertengkar, kok," kata Bung Karno.

"Begini. Jadi, masalahnya elite politik itu tak mau bersatu karena saling menyalahkan. Padahal, saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halalbihalal'. Bagaimana?" kata Kiai Wahab.

3 dari 3 halaman

Beda dengan Sungkeman

Rais Syuriah PBNU Masdar Farid Mas'udi. (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Seperti mendapat cahaya setelah terkurung dalam gelap dalam waktu lama, begitulah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi saat itu. Saat hari raya Idul Fitri 1948 itu Bung Karno lalu mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara bersilaturahmi. Acara itu bertajuk "Halalbibalal".

Sejak itu orang-orang Presiden Soekarno terus mengadakan acara halalbihalal secara masif setiap tahun. Niat baik akan memancarkan energi baik. Silaturahmi bertajuk halalbihalal itu kemudian ditirukan masyarakat secara luas.

Tak hanya umat muslim di Jawa, bahkan terus meluas. Bung Karno menggerakkan tradisi halalbihalal melalui birokrasi pemerintahan, sedangkan Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah halalbihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.

Dalam berbagai literatur, kegiatan halalbihalal sendiri sebenarnya sudah dilakukan sejak KGPAA Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa di Keraton Solo. Awalnya setelah Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri sebagai wujud bakti dan kesetiaan kepada keraton. Budaya ini lalu ditiru oleh masyarakat luas, termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.

Kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa ini kelak menjadi tradisi sungkeman dan tak menggunakan istilah "halalbihalal", meskipun esensinya sudah ada.

Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi menyebutkan bahwa secara terminologi, kosakata halalbihalal memang dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah.

"Analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl), yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sedangkan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan," tulis KH Masdar Farid Mas'udi.

 

Penulis : Edhie Prayitno Ige

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya