Pakar Hukum: Penerapan Pasal Pembunuhan di Kasus Miras Oplosan Tak Tepat

Ganjar melanjutkan, hukuman peracik miras oplosan harus setimpal dengan perbuatannya. Tidak bisa dilebih-lebihkan atau dikurangi.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 15 Apr 2018, 07:03 WIB
Tersangka kasus minuman keras atau miras oplosan saat dihadirkan dalam rilis di Mapolres Jakarta Selatan, Rabu (11/4). Polisi berhasil mengamankan tujuh tersangka dalam kasus ini. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana penerapan pasal pembunuhan di kasus produksi dan perdagangan miras oplosan menuai pro dan kontra. Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana tak sependapat dengan wacana tersebut.

Menurut Ganjar, tidak tepat para tersangka pada kasus miras oplosan dijerat dengan pasal pembunuhan.

"Tidak bisa. Kita sebut pembunuhan itu karena pelakunya menargetkan seseorang untuk menghilangkan nyawa," ujar Ganjar saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Sabtu 14 April 2018.

Hal ini, kata dia, berbeda dengan kasus miras oplosan yang tidak menargetkan pembeli atau konsumen tertentu. Namun jika melihat pada dampaknya yang bisa menyebabkan kematian, maka tersangka bisa dijerat Pasal 359 KUHP atau Pasal 204 KUHP.

Pasal 359 KUHP berbunyi, barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Sementara Pasal 204 ayat 1 KUHP berbunyi, barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat bahaya itu tidak diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 204 ayat 2 KUHP berbunyi, jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Ganjar juga mengkritisi instruksi Wakapolri Komjen Syafruddin kepada jajarannya agar memberi hukuman seberat-beratnya bagi tersangka kasus miras oplosan. Menurut Ganjar, penegak hukum harus bersikap objektif.

"Nggak boleh begitu. Nggak boleh dia nargetin ini pengin saya hukum seberat-beratnya, nggak bisa. Di dalam ilmu hukum tidak dikenal hukuman seberat-beratnya," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Hukuman Harus Setimpal

Ganjar melanjutkan, hukuman itu harus setimpal dengan perbuatannya. Tidak bisa dilebih-lebihkan atau dikurangi.

"Kalau pelanggarannya ringan ya sanksinya ringan, pelanggaran berat ya sanksinya berat. Masak penegak hukum menargetkan hukuman seberat-beratnya, nggak boleh. Lihat aja faktanya," ucap Ganjar.

Masih soal hukuman, Polri, Kejaksaan dan Pengadilan tidak bisa kongkalikong agar tersangka dapat dapat dijatuhi sanksi pidana berat. Ketiga institusi itu, kata dia, memiliki tugas masing-masing dalam menegakkan hukum.

"Polisi itu bukan juris. Yang juris itu jaksa dan hakim. Polisi memang tugasnya menemukan fakta saja, sodorkan ke jaksa nanti jaksa yang merumuskan," terang Ganjar.

Baru setelah itu diuji di persidangan dan hakim yang akan memutuskan sanksi pidananya. "Kalau penyidik Polri ya jangan buru-buru, oh ini di depan saya mau nyodorin kita carikan pasal yang maksimal, ya nggak bisa," Ganjar menandaskan.

Wakapolri berkali-kali menekankan agar para tersangka dalam kasus miras oplosan dijatuhi hukuman maksimal. Sebab, kasus miras oplosan dianggap telah merugikan bangsa dengan banyaknya korban berjatuhan.

"Tuntunannya kita akan koordinasikan dengan jaksa supaya maksimal hukumnnya. Kita akan koordinasikan dengan criminal justice system supaya maksimal semuanya. Jangan dikurang-kurangin," ucap Syafruddin di Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat 13 April 2018.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya