Donald Trump Minta Pelaku Teror Truk New York Dihukum Mati

Kicauan Donald Trump dianggap mengomentari proses peradilan pelaku serangan teror truk New York. Etis atau tidak?

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 03 Nov 2017, 12:33 WIB
Donald Trump berbicara ketika jumpa kabinet di Gedung Putih, Washington (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, New York - Serangan truk New York yang terjadi pada Selasa, 31 Oktober 2017 telah mengagetkan publik dunia. Dalam insiden itu, delapan orang tewas, di antaranya lima warga Argentina yang sedang berlibur di New York untuk merayakan 30 tahun kelulusan mereka dari sekolah menengah atas. Lainnya adalah seorang ibu muda asal Belgia dan dua warga AS. 

Pelaku serangan teror maut itu adalah seorang imigran asal Uzbekistan, Sayfullo Saipov. Pemuda 29 tahun itu terpicu melakukan teror karena terinspirasi oleh ISIS.

Saat ini, Saipov tengah mendapat dakwaan dari kejaksaan federal New York atas tuduhan memberikan sumber daya material dan dukungan kepada organisasi terorisme.

Dilansir dari laman BBC (3/11/2017), Presiden AS Donald Trump kembali berkicau dalam Twitternya terkait insiden teror truk New York. Namun, kali ini isinya cukup menghebohkan.

"Teroris New York City mengaku senang (atas apa yang telah dilakukan) sembari meminta bendera ISIS untuk digantungkan di kamar rawatnya. Dia telah membunuh 8 orang, 12 terluka parah. Harus diganjar hukuman mati!"demikian isi twit Trump.

Tak berhenti di situ, Trump kemudian berkicau lebih tegas lagi, "Harus dilakukan secepatnya. Hukum mati!"

Namun begitu, beberapa pengamat dan pelaku hukum bersikap, komentar orang nomor satu di AS itu dapat merugikan proses pengadilan.

Seorang hakim militer mengatakan, dia terpaksa memberikan vonis ringan kepada Bowe Bergdahl, sorang tentara AS yang desersi dari markas militernya di Afghanistan. Langkah itu diambil setelah Trump berkicau bahwa prajurit itu harus dihukum mati. 

2 dari 2 halaman

Campur Tangan Presiden di Pengadilan

Pernyataan Trump tadi bukanlah kasus pertama dari tokoh penting terkenal yang ikut campur dalam urusan pengadilan. Sejarah mencatat, beberapa tokoh pernah melontarkan hal serupa.

Seperti pada 1970, ketika pengadilan tengah memproses Charles Manson atas tuduhan pembunuhan massal. Pihak pengacara terdakwa meminta sidang dibatalkan setelah Presiden AS pada saat itu, Richard Nixon, ikut campur dalam proses pengadilan. Nixon menyatakan secara sepihak bahwa sang terdakwa terbukti bersalah.

 

Presiden Amerika Serikat Richard Nixon. (wikipedia)

Nixon kemudian mundur, membiarkan hakim dan tim hukum melanjutkan proses.

Sebelumnya, Trump juga tercatat pernah terlibat secara sepihak dalam proses hukum. Ini terjadi pada 1989, ketika ada kasus pemerkosaan brutal terhadap seorang wanita yang dilakukan oleh sekelompok pria berkulit hitam dan Latin berjumlah lima orang.

Suami dari Melania ini diketahui memberikan US$ 85.000 kepada salah satu surat kabar untuk membuat sebuah iklan berjudul, "Berlakukan Kembali Hukuman Mati!"

Setelah melewati proses, kelima terdakwa akhirnya dibebaskan dengan bukti DNA. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya