PBNU: Penyebutan Pribumi Oleh Anies Baswedan Tidak Tepat

Ada dua hal yang harus segera dibereskan Anies baswedan setelah dilantik Gubernur dan Wakil Gubernur.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 17 Okt 2017, 19:14 WIB
Gubernur dan Wakil Gubernur baru DKI, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno bersiap menggelar rapat dengan jajaran pejabat Pemprov DKI Jakarta di Balai Kota, Selasa(17/10). Anies-Sandi tampak necis mengenakan pakaian dinas PNS. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa jam setelah dilantik Presiden Jokowi menimbulkan polemik. Penyebabnya karena penyebutan kata pribumi di salah satu kutipan pidatonya. 

Terkait Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hery Haryanto Azumi, menilai pernyataan Anies menyebut kata pribumi tidak tepat.

Menurut Hery selain sudah ada pelarangan yang ihwal pengunaan istilah tersebut, kata pribumi dan non-pribumi dalam pidato politik itu dapat memunculkan polarisasi baru.

"Ya sudah tidak tepat kita sekarang bicara politik pribumi dan non-pribumi. Kan sudah ada aturannya. Malah bisa mendatangkan poralisasi baru ungkapan itu," ujar Hery dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (17/10/2017).

Menurut Hery larangan menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi sudah tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah.

Tak hanya itu, Hery menilai mengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi justru dapat menimbulkan spekulasi tafsir yang negatif terhadap pasangan Anies-Sandi.

"Spekulasi tafsir negatif bisa muncul jika seorang pejabat negara masih mengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi. Kan semua WNI itu pribumi," terang Hery. 

 

 

2 dari 2 halaman

Dua Tugas Untuk Anies-Sandi

Hery menambahkan setelah resmi menjadi Gubernur DKI ada dua tugas yang harus dibereskan Anies-Sandi, pertama menyatukan kembali warga DKI Jakarta yang pernah terbelah akibat beda pilihan politik saat pilkada.

Kedua, melakukan kerja keras dengan merealisasikan janji-janji politik saat kampanye. 

Menurut Hery, seorang pemimpin harus memposisikan diri sebagai pengayom bagi semua warganya, tidak membeda-bedakan atas dasar apapun, baik itu agama, ras, warna kulit ataupun golongan.

"Negawan itu sang pengayom semua golongan. Prinsip ini tak boleh dilanggar oleh pejabat negara di level manapun, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Baik pejabat nasional ataupun lokal," Hery menandaskan. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya