Respons Ketua DPD Soal Deponering 2 Pimpinan KPK

Irman Gusman mengatakan, deponering Abraham Samad dan Bambang Widjojanto seharusnya melalui mekanisme hukum lewat pengadilan.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 04 Mar 2016, 19:11 WIB
Ketua KPK, Abraham Samad (jaket coklat) bersalaman dengan Bambang Widjojanto di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/2/2015). Bambang Widjojanto memenuhi panggilan pemeriksaan kedua sebagai tersangka di Bareskrim Mabes Polri. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung memutuskan mengesampingkan (deponering) perkara yang menjerat 2 mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Pro dan kontra pun bermunculan usai deponering keduanya diumumkan.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan, deponering Abraham dan Bambang seharusnya melalui mekanisme hukum lewat pengadilan.

"Untuk hal-hal khusus, jabatan Jaksa Agung bisa prerogatif. Ini bisa jadi pelajaran supaya jangan mudah lakukan deponering untuk sebuah kasus yang sebaiknya diuji di pengadilan," ungkap Irman di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (4/3/2016).

Menurut dia, ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi sebelum keputusan deponering itu dikeluarkan. Salah satunya, ketika kasus tersebut menjadi perhatian banyak orang.

"Sebaiknya jangan mudah mengeluarkan deponering. Karena ada prosedur mengeluarkannya. Seharusnya hak itu (Jaksa Agung) harus lebih selektif dan tentunya didiskusikan dengan Presiden atau menteri terlebih dahulu sebelum mengeluarkan deponering," ujar Irman.

Namun, dia tak bisa mengatakan pemberian deponering untuk Abraham dan Bambang sudah tepat atau belum. Biar bagaimanapun, lanjut dia, harus diapresiasi. Dia berharap agar ke depan kejadian ini tidak kembali terulang.

"Saya tidak mengatakan tepat atau tidak tepat. Tapi ke depan harus dikonsultasikan supaya tidak timbul pertanyaan publik," tandas Irman.

Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang meminta mengembalikan saja persoalan itu pada kebijakan hukum atau kebijakan politik. Hal tersebut dikarenakan perbedaan kebijakan hukum dan politik, tipis.

"Antara hukum dan politik itu sangat tipis, jadi kita sulit untuk mengatakan yang mana yang benar. Nah itu nanti makanya kembali kepada kebijakan hukum atau kebijakan politik," ucap pria yang karib disapa Oso itu.

"Kalau politik ya mungkin-mungkin saja, kalau hukum enggak tahu gimana gitu kan. Jadi karena saya bukan orang hukum dan kurang menghayati tentang hukum, hanya sekedar mengerti saja, maka tidak ada jaminan menjawab hal ini (deponering)," tutup Oso.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya